Tampilkan postingan dengan label Potret Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Potret Desa. Tampilkan semua postingan

23 Juli 2017

Perlukan Desa Menyusun Perdes Kewenangan?

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah menjelaskan Kewenangan desa merupakan kewenangan yang melekat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Pemerintah desa tidak akan berjalan, tanpa adanya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa dalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan desanya. Oleh karenanya kewenangan desa merupakan salah satu pokok persoalan tatkala Pemerintah desa akan mengurus dan mengatur desanya.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah menjelaskan Kewenangan desa merupakan kewenangan yang melekat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Pemerintah desa tidak akan berjalan, tanpa adanya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa dalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan desanya. Oleh karenanya kewenangan desa merupakan salah satu pokok persoalan tatkala Pemerintah desa akan mengurus dan mengatur desanya.
Ilustrasi: Blogger Desa
Di dalam Pasal 9 Permendagri No. 44 tahun 2016 tentang Kewenangan Desa menyebutkan Perincian Kewenangan yang ditugaskan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota meliputi:

a. penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. pelaksanaan Pembangunan Desa;
c. pembinaan kemasyarakatan Desa; dan
d. pemberdayaan masyarakat Desa.

Untuk melaksanakan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang ditugaskan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tersebut diperlukan landasan hukum berupa peraturan desa tentang kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan lokal, sesuai dengan ayat 1 (satu ) Pasal 23 Permendagri No 44 tahun 2016 tentang Kewenangan Desa.

Salah satu kewenangannya Kepala desa ayat (1) pasal 2 Permendagri no 114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa, Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Sedangkan Pembangunan desa sebagaimana dimaksud mencakup bidang penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Yang kemudian Perencanaan pembangunan Desa disusun secara berjangka meliputi:

a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan
b. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari RPJM Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Pada ayat 1 (satu) pasal 46 Permendagri no 114 tahun 2014 tentang Pedoman pembangunan desa, Pemerintah Desa setiap tahunnya melaksanakan dan menyelenggarakan musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdesa) untuk untuk membahas dan menyepakati rancangan RKP Desa yang juga sebagai penjabaran setiap tahunnya dari RPJM Desa. Di dalam Permendagri tersebut ayat 1 (satu) pasal 47 Rancangan RKP Desa memuat rencana penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Yang mulai penyusunan RKP Desa tersebut pada bulan Juli tahun berjalan dan ditetapkan dengan peraturan Desa paling lambat akhir bulan September tahun berjalan.

Yang selanjutnya didalam Rancangan RKP Desa berisi prioritas program dan kegiatan yang didanai dari :

a. pagu indikatif Desa;
b. pendapatan asli Desa;
c. swadaya masyarakat Desa;
d. bantuan keuangan dari pihak ketiga; dan
e. bantuan keuangan dari pemerintah daerah provinsi, dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota.

Sedangkan Prioritas, program dan kegiatan dirumuskan berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa yang meliputi:

a. peningkatan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan Desa;
b. peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar;
c. pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia;
d. pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif;
e. pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi;
f. pendayagunaan sumber daya alam;
g. pelestarian adat istiadat dan sosial budaya Desa;
h. peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan masyarakat Desa; dan
i. peningkatan kapasitas masyarakat dan lembaga kemasyarakatan Desa.

Hasil Rancangan peraturan Desa tentang RKP Desa dibahas dan disepakati bersama oleh kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa untuk ditetapkan menjadi peraturan Desa tentang RKP Desa. Untuk melaksanakan kegiatan musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdesa) didalamnya untuk membahas dan menyepakati rancangan RKP Desa serta berikutnya menyusun program kegiatannya, tentunya secara legalitas setelah desa mempunyai Perdes kewenangan lokal berskala desa.

Selanjutnya untuk melaksanakan program kegiatannya didalam peraturan Desa tentang RKP Desa dibiayai melalui belanja desa yang dibagi atas kelompok sesuai ayat 2 (dua) pasal 13 Permendagri no 113 tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa, terdiri atas kelompok:

a. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. Pelaksanaan Pembangunan Desa;
c. Pembinaan Kemasyarakatan Desa;
d. Pemberdayaan Masyarakat Desa; dan
e. Belanja Tak Terduga.

Mandat tersebut sangat jelas di ayat (2) pasal 13 di Permendagri tersebut yaitu dibagi dalam kegiatan sesuai dengan kebutuhan Desa yang telah dituangkan dalam RKPDesa. Dan di pasal 20, Sekretaris Desa menyusun Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa berdasarkan RKPDesa tahun berkenaan.

Kesimpulan: 

Sangat jelas mata rantai Penyusunan Perencanaan Desa RPJMDesa, RKPDesa dan APBDesa adalah kewenangan desa yang ditugaskan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa, yang bentuk kewenangannya melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang daftar kewenangan Desa dan Desa Adat berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala Desa, kemudian Pemerintah Desa menetapkan Peraturan Desa tentang kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala Desa dan Desa Adat, sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan lokal Desa yang bersangkutan.

Bagaimana menurut anda?
  • Legalkah apabila desa belum mempunyai Perdes Kewenangan tersebut kemudian melaksanakan penyusunan dan menetapkan dokumen Perencanaan Pembangunan RPJMDesa RKPDesa dan APBDesa.
  • Melaksanakan kegiatan tahunan Musrenbang Desa;
  • Apabila sudah mempunyai Perdes Kewenangan namun melaksanakan penyusunan rancangan RKP Desa tidak dilaksanakan pada bulan Juli tahun berjalan maupun penetapannya tidak di akhir bulan September tahun berjalan;
  • APBDesa tidak berdasarkan RKPDesa Tahun Berjalan.

(Korda SAPA Jateng III - Sumber: http://www.formasi.org)

06 Juni 2017

Desa yang Berani Publikasi APBDes, Pantas Diapresiasi

Ayo Bangun Desa - Paska di implementasikan UU Desa. Masyarakat desa terus berinovasi dalam memanfaatkan dana desa. Salah satunya memanfaatkan dana itu untuk pemetaan desa. 
APBDes/Ilustrasi
Pemetaan desa dilakukan untuk melihat kondisi sosial, ekonomi, dan bangunan fisik di desa terkait. Untuk memetakan kondisi fisik lahan dan bangunan digunakan alat global positioning system (GPS).

Dengan adanya pemetaan desa diharapkan mampu mendeteksi potensi masalah dan keunggulan desa. Pemetaan desa dapat dilakukan sendiri oleh warga dan bagi desa-desa yang belum mampu melakukannya sendiri bisa melibatkan pihak luar desa. 

Manfaat Pemetaan Desa

Banyak sekali manfaatnya. Diantaranya, dengan adanya pemetaan desa, akan diketahui kondisi riil masyarakat dan perencanaan desa juga bisa lebih tepat tepat sasaran.

Manfaat lain, pemerintah desa akan tahu pasti kondisi setiap keluarga, misalnya mengenai kebutuhan beras, kondisi pendidikan anggota keluarga, dan potensi usaha mikro yang dikembangkan di masing-masing desa. 

Pantas diapresiasi

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Wildan Syafitri, mengatakan, model pemberdayaan masyarakat desa dengan kegiatan seperti pemetaan desa pantas diapresiasi. Model itu bisa bermanfaat baik untuk jangka pendek dan jangka panjang, seperti dikutip dari kompas.com.

"Selama ini program desa lebih banyak untuk kegiatan fisik. Ke depan, lebih baik program-program pemberdayaan masyarakat dimaksimalkan.

Semakin berinovasi, maka semakin banyak manfaat akan dirasakan masyarakat," kata Wildan.

Saat ini pemerintah desa mulai berani memublikasikan APBDesa secara terbuka ke masyarakat.

Hal itu, menurut Wildan, adalah bentuk kemauan masyarakat untuk terus berkembang. "Model transparansi anggaran memang kewajiban dari pencairan dana desa. Transparansi anggaran akan membuat masyarakat peduli dengan pemerintahan di desanya sendiri," katanya.

26 Maret 2017

Desa Pilar Ekonomi Masa Depan

Sebutkan kata “Desa” maka pikiran orang melayang ke daerah-daerah terkebelakang di atas gunung, atau kampung nelayan di pesisir pantai. Tapi tahukah Anda bahwa dalam tempo 10-20 tahun dari sekarang, desa bisa menjadi pilar unggulan perekonomian nasional? Diam-diam pemerintah sedang memberdayakan 75.000 desa yang kapasitas produksinya akan melipatgandakan GDP Indonesia, bahkan nilai kapitalisasinya akan menandingi perusahaan-perusahaan raksasa dunia.
Ekonomoi Desa

Buang jauh-jauh kepentingan partai, kelompok dan golongan. Mari kita bicara tentang nasib bangsa ini menjelang peringatan 100 tahun Indonesia Merdeka. Sebelum peringatan tersebut, bila program pembangunan desa yang dijalankan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Nawacita itu berhasil secara merata dan berkesinambungan [dilanjutkan oleh pemerintahan-pemerintahan berikutnya], maka desa-desa di Indonesia akan menciptakan consumption power senilai Rp12.000 triliun atau mendekati US$ 1 triliun —sama seperti GDP Indonesia saat ini, termasuk yang dihasilkan oleh kawasan perkotaan dan kawasan industri.

Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sudah menghitungnya secara cermat bahwa potensi desa yang sangat besar itu harus ditumbuh-kembangkan, karena inilah salah satu pilar unggulan ekonomi Indonesia di masa depan.

Saat ini [2017] penduduk Indonesia berjumlah 259 juta yang mencakup angkatan kerja sebanyak 47% atau 125 juta orang. Setengah dari jumlah ini tinggal di desa-desa. Tapi dalam kurun waktu 10 tahun dari sekarang, Indonesia akan memperoleh bonus demografi ketika jumlah penduduk naik menjadi lebih dari 270 juta orang dan angkatan kerja bertambah menjadi 67% dari jumlah penduduk.

Tahun 2030 jumlah penduduk negeri ini diperkirakan akan mencapai 300 juta orang, sekitar setengahnya berada di kawasan perdesaan. Jika dihitung bahwa nanti terdapat 200 juta angkatan kerja saja —sekitar 10-15 tahun dari sekarang —maka ada 100 juta pekerja yang tinggal di daerah pedesaan.

Dalam kalkulasi Eko Putro Sandjojo, jika setiap desa fokus memproduksi satu produk unggulan tertentu melalui Program Unggulan Desa (Prudes) atau di Jawa dikenal dengan nama Program Kawasan Perdesaan (Prokades) maka akan menghasilkan skala ekonomis yang berdampak.

Setiap angkatan kerja di desa bisa memperoleh penghasilan Rp2 juta per bulan, karena sektor pertanian yang terintegrasi secara vertikal bisa memberikan pekerjaan turunan. Misalnya ada kuli panggul, ada buruh, ada pegawai di perusahaan pasca-panen, sopir truk, warung-warung, retail dan seterusnya. Jadi multiplier effect-nya besar. Maka desa akan menyumbang paling sedikit Rp200 triliun per bulan kepada perekonomian nasional.

Apabila jumlah Rp200 triliun itu menghasilkan consumption effect lima kali lipat —sebagai kalkulasi moderat— maka kapasitas konsumsi berbasis desa akan mencapai Rp1.000 triliun per bulan atau Rp12.000 triliun per tahun atau enam kali APBN 2017. Sehingga akan memberikan kontribusi sekitar US$1 triliun kepada GDP Indonesia.

Ini kalau kita hitung bahwa dalam tempo 10-15 tahun dari sekarang program pembangunan desa yang dijalankan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi itu membuat penghasilan angkatan kerja di desa tumbuh menjadi Rp2 juta per orang per bulan.

Di banyak desa jumlah ini akan jauh lebih besar. Pendapatan rata-rata masyarakat desa di Jawa saat ini pun sudah lebih dari Rp2 juta. Tapi dengan hanya Rp2 juta saja, desa sudah bisa menciptakan nilai sebesar GDP Indonesia saat ini, apalagi kalau bisa lebih, ujar Eko Putro Sandjojo ketika ditemui Pitan Daslani dan Andrea Salman dari Indonesian Leaders.

“Itu yang akan menjadi kekuatan Indonesia. Berarti cita-cita Pak Joko Widodo dalam membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam rangka NKRI itu bukanlah isapan jempol. Secara matematika bisa dibuktikan. Nah, teknisnya, bagaimana agar kita membuat Produk Unggulan Desa (Prudes) ini jalan.”

Produk Unggulan Desa

Kementerian yang dipimpin Eko kini sibuk mendorong desa-desa di Tanah Air untuk fokus mengembangkan produk-produk unggulan tertentu sesuai potensi daerahnya masing-masing dengan semboyan One Village One Product. Selama ini karena tidak terorganisir dengan baik maka desa-desa tidak mempunyai fokus produksi. Namun hal inilah yang sedang dibenahi agar setiap desa memiliki produk unggulan tertentu sehingga bisa mempunyai skala produksi yang besar.

One Village One Product adalah satu dari empat program yang menjadi strategi kementerian ini. Produk-produk unggulan ini akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang merupakan program unggulan kedua. Program unggulan lainnya adalah Embung Desa dan Sarana Olahraga.

BUMDes berbentuk perseroan terbatas (PT) yang dikelola oleh desa dan berada di bawah holding dimana empat bank BUMN yaitu Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI) menjadi pemilik mayoritas (51%) sementara desa mengontrol 49% saham perusahaan tersebut.

Guna meningkatan kinerja serta menerapkan transparansi dalam pengelolaan BUMDes maka pemerintah juga telah mendorong kehadiran mitra-mitra BUMDes untuk bekerjasama.

“Kalau satu desa punya satu mitra BUMDes, dan satu mitra BUMDes bisa untung Rp 1 miliar per tahun, maka jika dikonsolidasikan akan menghasilkan Rp 75 triliun net profit. Sampai sekarang belum ada perusahaan di Indonesia bisa menghasilkan net profit sebesar itu,” ujar Menteri Eko.

Bandingkan net profit dari satu holding ini (Rp75 triliun) dengan keuntungan 138 BUMN yang berjumlah Rp140 triliun. “Nah perusahaan yang punya net profit Rp75 triliun tentu tidak mungkin kita diamkan saja. Saya tentu akan float ke pasar saham.

Kalau price to earning (P/E) ratio-nya 20 misalnya maka kapitalisasi pasarnya sudah Rp1.500 triliun atau US$ 120 miliar, atau sama dengan 30% dari nilai kapitalisasi Apple Computer. BumDes ini bisa menjadi world-class company.”

Menteri Eko yang berlatarbelakang profesional bisnis itu berpendapat bahwa salah satu kunci keberhasilan pengembangan kawasan perdesaan adalah manajemen korporasi BumDes secara profesional.

“Malaysia dan Singapura itu negara kecil yang sumber daya alamnya tak sebanyak Indonesia, tetapi karena dia kompak sehingga bisa mengkapitalisasi bukan hanya resources negaranya tetapi juga recources negara tetangga.”

Embung Air Desa

Karena 82% masyarakat di perdesaan hidup di sektor pertanian, maka titik beratnya adalah membuat tiap desa fokus ke komoditas pertanian dan pendukungnya.

Untuk menunjang penciptaan produk-produk unggulan desa, maka Menteri Eko sibuk mendorong pembangunan embung air sesuai visi yang ditetapkan Presiden.

“Di Indonesia ini hanya 45% desa yang mempunyai saluran irigasi. Sisanya belum punya saluran irigasi. Jadi yang punya saluran irigasi itu bisa tiga kali panen, tapi yang tidak punya saluran irigasi cuma pas musim hujan saja bisa menanam dan hanya satu kali panen. Jadi rata-rata nasional cuma 1,4 kali panen per tahun, padahal seharusnya bisa tiga kali panen, kalau ada air.

“Karena itulah maka tambahan anggaran desa sebesar Rp20 triliun itu Bapak Presiden minta untuk digunakan membangun embung air di setiap desa. Jadi desa mengalokasikan Rp200-500 juta untuk membangun embung air.

“Embung air itu tak perlu harus dibikin di tanah baru; saluran irigasi dilebarkan dan diperdalam itu juga bisa jadi long storage sebagai embung air juga. Sehingga pada saat musim kemarau pun bisa ditarik pakai pompa, airnya bisa buat menanam agar bisa tiga kali panen. Jadi secara nasional bisa naik dua kali lipat dengan lahan yang sama.

“Embung itu juga bisa dimanfaatkan untuk perikanan; jadi supaya tidak idle, digunakan untuk perikanan agar ada additional income buat desa. Perikanan bisa dimanfaatkan juga buat pariwisata. Jadi tahun lalu ada yang curi start, ada 600 desa yang sudah bikin embung. Di Kutai Kartanegara kebetulan kaya dana bagi hasilnya ada Rp 7 triliun, jadi setiap desa dikasih Rp 3 miliar.”

Holding BUMDes

Sistematikanya adalah membangun produk unggulan setiap desa, kemudian disusul pembangunan embung air sehingga penduduk desa mempunyai penghasilan yang meningkat, barulah dibentuk BUMDes di tiap desa lalu di-holding-kan di bawah empat bank BUMN itu.

BUMDes sering tidak dipahami banyak orang yang menyangkanya sebagai koperasi. Padahal BUMDes dan koperasi adalah dua hal yang berbeda karena BUMDes adalah perseroan terbatas (PT) yang dikelola oleh desa dan keuntungannya digunakan 100% untuk kepentingan desa, misalnya membangun atau memperbaiki infrastruktur perdesaan. Sedangkan koperasi dimiliki anggotanya yang menggunakan 100% keuntungannya untuk kepentingan anggota masyarakat.

Banyak BUMDes yang sudah sukses, bahkan mampu mencetak laba Rp10-15 miliar, namun banyak pula yang masih belum sukses karena terkendala oleh minimnya SDM pengelola yang mumpuni.

“Yang sukses itu di daerah-daerah yang mempunyai human resources yang ada kapasitas untuk mengelola semacam BUMDes. Tapi problemnya, tidak semua desa, apalagi desa-desa yang jauh, itu punya SDM demikian.”

Karena itu maka sekarang Menteri Eko dibantu oleh BNI untuk melatih 1.500 BUMDes setiap tahun melalui BNI University yang melatih di bidang kewirausahaan dan manajemen. Tapi bila hanya melatih 1.500 BUMDes per tahun sementara ada 75.000 desa, maka diperlukan 50 tahun untuk melatih SDM BUMDes di semua desa. Inilah sebabnya Menteri Eko kemudian membentuk holding BUMDes.

Pemilik holding ini adalah keempat bank BUMN tersebut yang memegang saham 51%. Holding ini akan mempunyai anak perusahaan di tingkat provinsi, kabupaten, dan desa. Holding dimaksud sudah terbentuk dan sedang menangani proyek percontohan di dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Banten.

Repotnya, holding ini berhadapan dengan BUMDes-BUMDes yang kapasitasnya beragam. Ada yang sudah punya laba bersih Rp15 miliar, ada yang labanya hanya Rp1 miliar, sementara ada juga yang pas-pasan. Ini membuat holding kesulitan untuk melakukan valuasi, Untuk mengatasi kondisi ini maka Menteri Eko munculkan solusi terobosan yaitu membentuk mitra-mitra BUMDes yang sahamnya 51% dimiliki oleh negara melalui holding sedangkan 49% dimiliki oleh desa.

Negara tetap akan mengontrol 51% agar pengelolaan BUMDes bisa transparan dan tidak menjadi monopoli kelompok kepentingan. Sebab pengalaman selama ini ada juga BUMDes yang sukses ternyata pengurusnya adalah anggota keluarga dan kerabat kepala desa. Dengan adanya holding maka praktik semacam itu bisa dicegah dan mereka bisa magang di bawah holding untuk mempelajari manajemen BUMDes secara profesional sebagai korporasi.

Manfaat lainnya adalah pemerintah dapat mennyalurkan semua subsidi melalui mitra-mitra BUMDes dan bank-bank yang mengelola holding akan lebih nyaman memberikan kredit.

Bulan Maret 2017 ketika holding BUMDes mulai beroperasi untuk pilot project di Banten dan Jawa Barat, hasilnya mulai tampak. Total jumlah BUMDes dikabarkan mencapai lebih dari 14.000 namun yang terdata di kementerian ini sudah lebih dari 22.000. Fokus kementerian adalah bukan kuantitas, melainkan kualitasnya agar bisa mandiri.

Selain itu dari sisi keamanan dan pengembangan aset, akan lebih terjamin, misalnya solar cell, traktor, harvester, dan peralatan lainnya. BUMDes yang memiliki 10 traktor misalnya dapat dijaminkan ke bank untuk membeli 20 traktor lagi.

“Jadi dengan anggran negara yang terbatas BUMDes bisa seolah-olah mendapat kapital dalam bentuk barang yang bisa dijaminkan untuk membeli barang baru lagi lalu disewakan kepada masyarakat. Begitu pula apabila diberi satu sarana air bersih, bisa di-leverage menjadi bebrapa sarana air bersih.”

Dengan demikian maka mitra-mitra BUMDes akan dengan mudah mencetak laba Rp100 juta per tahun karena berbagai produk dagangannya seperti beras dan minyak goreng dapat dijual di situ. Nanti distribusinya melalui koperasi-koperasi desa yang terfokus ke komoditas spesifik khas desa, misalnya koperasi transportasi, koperasi jagung, padi, dan lainnya. Pemerintah mensubsidi dengan memberikan pupuk secara gratis.
Sinergi Kementerian dan Lembaga

Ini baru bicara tentang potensi desa, belum lagi tentang dampaknya bagi perekonomian di daerah perkotaan. Akan akan multiplier effects terhadap kota-kota, karena jaringan distribusi produk dari desa serta kebutuhan masyarakat perdesaan akan menciptakan lapangan kerja baru serta dampak ekonominya secara berantai terus sampai ke kota-kota.

Maka Menteri Eko sangat yakin bahwa desa akan mampu menghasilkan tambahan US$1,5 triliun kepada Produk Domestik Bruto nasional. Inilah sebabnya Presiden Jokowi yakin program Prudes dan Prukades bisa sukses.

Banyak kepala daerah mulai menerapkan program ini, misalnya di Halmahera Barat yang bupatinya melapor kepada Menteri Eko bahwa ia sudah membuka kawasan 20.000 hektar untuk jagung, dan bibitnya didapat dari Menteri Pertanian.

Ke depan program yang didukung oleh 19 kementerian dan lembaga ini akan menjadi gerakan nasional dimana masing-masing daerah akan fokus ke produk-produk tertentu sesuai potensi terbesar di daerahnya.

Kementerian dan lembaga-lembaga dimaksud pun Tupoksi-nya berada di desa sehingga memudahkan implementasi program Prudes dan Prukades, ujar Menteri Eko, meyakinkan.

Dengan adanya sinergi dari 19 kementerian dan lembaga ini maka dana desa sebesar Rp60 triliun dari total transfer Rp560 triliun ke daerah itu bisa menjadi penggerak peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Tapi, mungkinkah semua ini akan berjalan dengan baik dari sisi manajemen kebijakan pemerintah pusat?

Menteri Eko menjawabnya enteng: “Enaknya, Pak Jokowi itu kita baru ngomong sedikit, dia sudah menangkap maksudnya; apalagi karena dia juga berlatarbelakang pengusaha. Jadi kita tak perlu bingung-bingung bicara. Dia cepat paham maksud kita; dia langsung panggil menteri-menteri lainnya untuk membantu Menteri Desa. Enaknya Pak Jokowi itu begitu.”

Mengingat bahwa strategi, struktur, sistem, serta skill untuk menjalankan program raksasa ini sudah dibangun, maka perlu adanya kesinambungan kebijakan pemerintah pusat sebagai jaminan konsistensi arah pengembangan kawasan perdesaan terus ke depan.

Penyakit paling menyakitkan di negeri ini adalah ketika terjadi pergantian kepemimpinan nasional maka semua strategi dan program pembangunan yang baik kemudian ditinggalkan dan diganti lagi dengan strategi baru yang dimulai dari awal.

Pemerhati-pemerhati masalah ekonomi memperkirakan bahwa Presiden Jokowi perlu 10 tahun untuk merampungkan rencana besar yang sudah berjalan ini agar manfaatnya bisa dirasakan oleh puluhan ribu desa yang dihuni begitu banyak penduduk Indonesia. [*]

Sumber: majalahleaders.com

Cara Presiden Jokowi Memilih Menteri Desa

Cara Presiden memilih Menteri Kabinet memberikan gambaran tentang apa yang bisa diharapkan dari pemerintahannya. Ada alasan kuat mengapa Presiden Joko Widodo memilih Eko Putro Sandjojo sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sebab negara hanya akan sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya akan sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya.

Ketika Presiden Soeharto memanggil Ali Wardhana untuk menjadi Menteri Keuangan dalam kabinet pertamanya, Ali menolak karena ia belum berpengalaman sebagai pejabat.

Setelah mendengarkan keberatan Ali Wardhana, Pak Harto menjawab, “Kamu pikir saya mau jadi Presiden? Saya juga belum pernah menjadi Presiden. Kamu belum pernah menjadi Menteri Keuangan. Jadi jangan khawatir, kita belajar bersama.”

Ketika Eko Putro Sandjojo dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko memberikan tanggapan yang serupa dengan jawaban Ali Wardhana.

“Waktu itu Presiden menyuruh saya membereskan kementerian ini karena banyak disorot. Saya disuruh untuk membuat terobosan,” kenang Eko saat diremui wartawan Indonesian Leaders.

“Saya katakan ke Presiden, ‘Pak, saya ini nggak pernah jadi pejabat. Saya bukan orang desa, kok saya dijadikan Menteri Desa, Pak?’ Saya katakan itu ke Presiden.”

Jokowi menjawab, “Saya juga belum pernah jadi Presiden; saya dulu seorang pengusaha, berjiwa pengusaha.”

Presiden kemudian berkata, “Pak Menteri kan punya pengalaman 20 tahun di [perdagangan] komoditi. Desa-desa itu pada prinsipnya adalah basis semua komoditi. Kalau orang desa saya jadikan Menteri Desa, karena setiap hari sudah melihat masalah, nanti dia jadi tidak melihat masalah lagi. Nah, coba dengan [pengalaman] berbasis komoditi itu Pak Menteri keliling ke desa-desa; nanti akan punya terobosan.”

Strategi Presiden dalam memilih Menteri ini tepat, sebab menurut teori kepemimpinan yang dicetuskan Tanri Abeng, “Negara hanya sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya.”

Latar belakang Presiden Jokowi sebagai pengusaha itu bermanfaat juga dijadikan pijakan dalam memilih anakbuahnya. Sebab pengusaha berorientasi pada hasil yang akan dicapai, bukan tingkat popularitas calon pemimpin yang akan diseleksi. Jokowi mampu melihat potensi yang ada dalam diri Eko Putro Sandjojo serta pengalamannya dalam sektor perdagangan komoditi serta bidang lainnya ketika ia menjadi profesional bisnis.

Bagi Eko sendiri, terobosan yang diharapkan Presiden untuk dilakukannya membuat dia harus berkeliling ke berbagai daerah.

“Ternyata benar. Begitu saya keliling pertama kali, saya lihat problemnya adalah desa-desa tidak punya fokus. Jadi sedikit menanam cabe, sedikit menanam bawang dan sebagainya. Jadi tak ada skala ekonomi. Karena tak ada skala ekonomi maka tak ada [kegiatan ekonomi] pasca-panen. Karena tak ada itu di pasca-panen maka tak ada jaminan harga.”

Akibatnya para petani berganti-ganti komoditas. Hari ini menanam cabe, besok rugi, dia ganti komoditi dengan menanam bawang. Harga jatuh, dia pindah lagi menanam padi. Besok harga jatuh, dia ganti lagi. Jadi customer-nya juga bingung. Tadinya mau membeli cabe di desa itu, tapi petani di sana semua sudah menanam bawang dan bukan cabe lagi.

Bandingkan kondisi ini dengan ruko-ruko kecil di daerah perkotaan seperti di Tanah Abang, Jakarta. Satu ruko saja omzetnya bisa miliaran rupiah.

Menteri Eko katakan, keberpihakan Presiden pada masyarakat kelas bawah sungguh tulus and all-out.

“Dia benar-benar komit sesuai Nawacita. Negara dalam keadaan susah aja pada tahun 2015 dia tetapkan Rp20,8 triliun untuk desa; tahun berikutnya dinaikkan menjadi Rp46,96 triliun, dan tahun 2017 dinaikkan lagi menjadi Rp60 triliun. Tahun 2018 dana desa akan ditingkatkan lagi sampai menjadi Rp 120 triliun.

“Pertama kali dalam sejarah Indonesia bahwa anggaran pemerintah yang ditransfer ke daerah menjadi Rp760 triliun sementara pemerintah pusat hanya menggunakan Rp740 triliun.”

Eko menilai bahwa Presiden bekerja sepenuh hati “karena ia tak mempunyai agenda lain. Mana ada saudaranya Presiden yang terlibat bisnis atau yang memanfaatkan fasilitas negara?”

Ternyata hal ini menjadi salah satu faktor yang menyemangati para Menteri Kabinet. Melihat Presiden bekerja keras dan tulus buat keppentingan rakyat, ujar Eko, “kita jadi semangat dan kita ingin melakukan sesuatu seperti yang dilakukan Presiden.”

Mungkin ini pula sebabnya mengapa Menteri Eko komit memberdayakan 75.000 desa di Tanah Air, meskipun ia tak mau mengambil gaji dari kerja kerasnya itu. Sejak menjabat, gajinya ia kembalikan untuk digunakan sebagai dana operasional kementerian. 

Lessons Learned

Saking semangatnya Pak Menteri yang satu ini sampai perayaan 17 Agustus pun ia memilih tidak menghadirinya di Istana, tetapi merayakannya dengan penduduk di desa-desa.

Suatu ketika Eko menghadap Jokowi. “Pak Presiden, saya minta izin, boleh atau tidak? Saya tidak ikut acara kenegaraan 17 Agustus.” “Kenapa,” tanya Jokowi.

“Saya mau merayakan 17 Agustus di desa-desa, di daerah perbatasan.”

Sejenak Presiden terdiam. Menteri Desa ini bingung. Mungkin Presiden sedang marah, pikirnya.

Sesaat kemudian Presiden Jokowi berkata, “Bagus begitu. Tahun depan seluruh Menteri saya suruh merayakan 17 Agustus di daerah perbatasan.”

Kegiatan safari Menteri Desa ke berbagai daerah membuat dirinya semakin memahami akar permasalahan yang menyebabkan kemiskinan dan keterbelakangan, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Sejak detik itu saya nggak ada interest lagi di kemewahan. Biasa beli mobil dan suka ngebut, sekarang nggak kepikir lagi itu. “Sudah 71 tahun kita merdeka tapi sebagian masyarakat masih miskin, anak-anak kekurangan gizi, 60% angkatan kerja kita cuma tamatan SD dan SMP.”

Ini sebabnya Eko begitu respek terhadap Jokowi bukan semata-mata karena ia pembantu Presiden, tetapi karena komitmen Presiden untuk mempercepat dan memeratakan pembangunan ke seluruh daerah, khususnya daerah perdesaan, agar negara yang semakin maju ini bisa maju secara merata dan berkeadilan.

Eko kemudian fokus membuat business model yang tepat untuk diberlakukan dengan penyesuaian di berbagai daerah perdesaan. Strateginya adalah menjalankan empat program unggulan yaitu One Village One Product, Embung Desa, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan Sarana Olahraga.

Dalam dua tahun terakhir, jumlah BUMDes meningkat tajam. Pada akhir tahun 2014, jumlah BUMDes hanya sebanyak 1.022 unit, namun tahun 2016 meningkat drastis hingga 14.686 unit.

Dari total jumlah BUMDes itu sebanyak 6.728 unit (52%) berada di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, diikuti Jawa Timur sebanyak 918 unit (7,14%) dan Jawa Tengah sebanyak 800 unit (6,22%).

Sejumlah BumDes sudah memiliki omzet antara Rp300 juta-Rp8,7 miliar, berdasarkan data kementerian ini. BUMDes yang memiliki omzet tertinggi per tahun adalah BUMDes Tirtonirmolo di Bantul dengan omzet sebesar Rp6,7 miliar dengan jenis usaha jasa simpan pinjam.

BumDes paling sukses di urutan ke-dua adalah BumDes Ponggok Klaten di bidang pariwisata, dan BumDes Gili Amerta di Kabupaten Buleleng masing-masing sebanyak Rp5,1 miliar.

Program Sarana Olahraga termasuk pembangunan lapangan bola serta fasilitas lainnya di desa-desa. Karena Eko Putro Sandjojo bukanlah Menteri Pemuda dan Olahraga, maka tujuan utama pembangunan sarana olahraga ini sebetulnya bukan untuk mencari bibit-bibit atlet dari daerah, tetapi untuk mengumpulkan crowd. Ketika banyak orang berkumpul di satu desa maka akan tercipta kegiatan ekonomi berantai dan dapat pula menjadi tujuan wisata.

Pelajaran kepemimpinan yang bisa dipetik dari cara Presiden memilih Menteri Desa adalah bahwa apabila kita mengharapkan hasil kerja yang maksimal serta terobosan-terobosan kebijakan dari seorang pemimpin, maka cara terbaik adalah memilih orang yang tepat, yaitu mereka yang keahlian dan pengalamannya bisa memberikan nilai tambah bagi lembaga yang dipimpinnya bukan sekadar memilih tokoh-tokoh yang populer namun miskin kemampuan untuk menciptakan nilai tambah.

Sebab, seperti kata Tanri Abeng, Negara hanya sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya. (Sumber: 
Majalahleaders.com)

24 Desember 2016

Tipe-Tipe Desa di Indonesia Berdasarkan Pengembangan

Menurut UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, Desa adalah Desa dan Desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Jenis-Jenis Desa di Indonesia Berdasarkan Pengembangan

Pengembangan desa di Indonesia, dipengaruhi oleh tipologi desaTipologi Desa merupakan fakta, karakteristik dan kondisi nyata yang khas, keadaan terkini di desa, maupun keadaan yang berubah, berkembang dan diharapkan terjadi di masa depan (visi desa).

Berdasarkan pengembangan desa di Indonesia, sebagai berikut:

1. Desa Mandiri adalah Desa maju yang memiliki kemampuan melaksanakan pembangunan Desa untuk peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sebesarbesarnya kesejahteraan masyarakat Desa dengan ketahanan ekonomi, dan ketahanan ekologi secara berkelanjutan.

2. Desa Maju adalah Desa yang memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi dan ekologi, serta kemampuan mengelolanya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, kualitas hidup manusia, dan menanggulangi kemiskinan.

3. Desa Berkembang adalah Desa potensial menjadi Desa Maju, yang memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum mengelolanya secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, kualitas hidup manusia dan menanggulangi kemiskinan.

4. Desa Tertinggal adalah Desa yang memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum, atau kurang mengelolanya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, kualitas hidup manusia serta mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya.

5. Desa Sangat Tertinggal adalah Desa yang mengalami kerentanan karena masalah bencana alam, goncangan konomi, dan konflik sosial sehingga tidak berkemampuan mengelola potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi, serta mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya.[]

09 September 2016

Siapa Sejatinya yang Menjadi Pengelola Desa?

Lahirnya UU Desa No 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah memberi peluang yang besar bagi Pemerintah Desa dalam mengelola Sumber Daya yang ada di Desa.

Hal ini untuk memudahkan aspirasi masyarakat Desa terealisasi. Juga dalam memperkecil kesenjangan sosial antar warga Desa. Dengan harapan, mengurangi orang yang meninggalkan Desa pergi ke kota untuk mencari nafkah. 

Desa harus menjadi sumber kehidupan dan penghidupan bagi seluruh masyarakat Desa. Oleh karena itu, atas kewenangan yang diberikan Desa harus mampu mengurus dan mengatur diri agar menjadi Desa yang kuat dan mandiri. 
Ilustrasi/IST
Lahirnya UU Desa telah mengubah pandangan, Desa bukan lagi sebagai objek pembangunan tetapi sebagai subjek pembangunan, ujung tombak pemerintah, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. 

Sebagai ujung tombak, Aparatur Desa dituntut untuk mengetahui tata kelola Pemerintah Desa yang sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila. Walaupun tantangan yang dihadapi tidak sedikit dan tidak mudah, tetapi Aparatur Desa wajib mengetahui tentang:

  • Kedudukan Desa
  • Pembentukan Desa
  • Keuangan Desa
  • Pemilihan Kepala Desa
  • Produk Hukum 
  • Pembentukan dan Pengelolaan BUMDES
  • Lembaga Kemasyarakat, Pembinaan dan Pengawasan
  • Dan lain-lain.

Siapa sejatinya yang menjadi Pengelola Desa? 

1. Seelf Governing Community  (Tata Kelola Milik Masyarakat)

Lembaga ini diharapan mampu merumuskan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa dalam bentuk kerangkan kerja dan prioritas pembangunan yang jelas secara partisipasif.

2. Local Self Government (Pemerintah Lokal)

Merumuskan kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten atau Kota sesuai peraturan perundang-undangan.

Seelf Governing Community dan Local Self Government kemudian bergabung dalam merumuskan tata laksana pemerintahan di Desa. Contoh konkrit seperti Penysunan RPJMDes, RKPDes, APBDes, dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Wujud konkrit kesejahtraan masyarakat dan keberasilan Desa di banyak bidang bisa terjadi jika tata kelola Pemerintah Desa memiliki revolusi mental dalam bentuk: 

  • Intergritas, 
  • Kerja Keras,
  • Gotong Royong, 
  • Cepat Pikir dan Respon, 
  • Pelayanan dan Etika.
Semoga berguna, diolah dari Video Sosialisasi Kemendagri

07 Februari 2016

9 Sistem Informasi Desa Terpadu Kemendesa

Kementeri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sepertinya akan segera meluncurkan 9 Sistem Informasi Desa Terpadu. 

Kehadiran sistem ini disebut-sebut, sebagai wujud mensinergikan cita ke 3 (Nawacita) melalui sistem informasi desa dan kawasan yang diharapkan dapat memudahkan para pengambil kebijakan tentang program desa.


9 Sistem Informasi Desa Terpadu meliputi;

  • Sistem Informasi Pembangunan Desa
  • Sistem Informasi Pemberdayaan Desa 
  • Sistem Informasi Manajemen BUMDES
  • Sistem Informasi Desa Online.
  • Sistem Informasi Transparansi Keuangan Desa
  • Sistem Informasi Layanan Desa
  • Sistem Informasi Monitoring Desa, yang disingkat dengan MONDES
  • Sistem Informasi Petensi Desa 
  • Website Jelajah Desa, atau disingkat dengan situs Jelajah Desa.
Dalam situs Jelajah Desa kemendesa, ketika dibuka lansung mengajak kita "Ayo Promosikan Desamu" buat semua orang tau potensi desamu. 

Seperti apa sistem online tersebut, dapat lihat di Sistem Informasi Desa Terpadu, Kementerian Desa, PDTT. 

15 Januari 2016

Keterbatasan Pemanfaatan Dana Desa

Pulang Kampung Bangun Desa/Foto: Ilustrasi
GampongRT - Dana desa yang mulai digulirkan pada tahun lalu telah menjadi harapan baru. Para pengelola desa berharap dana itu benar-benar bakal menggelorakan dinamika wilayahnya.

Namun Menteri Desa, Pembangunan daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marfan Jafar menegaskan program itu difokuskan pada sektor infrastruktur. Padahal sudah ada desa yang mengangankan untuk memiliki pusat kebudayaan. Di Jawa Barat, ada desa yang merencanakan untuk membuat perkebunan.

Proyek-proyek seperti itu ternyata tidak bisa dilaksanakan dengan dana desa. Program dana desa belum lama berjalan. Untuk memperbaiki pelaksanaannya pada kemudian hari, evaluasi tentu diperlukan.

Efektivitas evaluasi dibutuhkan supaya masukanmasukan yang diberikan bisa dijalankan. Saran-saran tersebut juga merupakan hasil penilaian atas proyekprooyek yang sudah dilaksanakan.

Untuk kepentingan itu, wajar bila program dana desa terfokus pada sektor tertentu. Pemilihan pembangunan infrastruktur juga strategis, mengingat persoalan utama negeri ini adalah kelangkaan prasarana yang memadai. Jalan-jalan banyak yang rusak.

Bahkan banyak desa yang terisolasi karena jalan penghubung tidak bisa dilalui mobil. Idealnya sebuah desa tidak hanya punya satu jalur penghubung. Kenyataannya, banyak desa yang tidak punya jalur alternatif.

Tidak mengherankan bila ada persoalan pada sebuah jalan, misalnya kerusakan jembatan, mobilitas para penduduknya pun menjadi sangat terbatas. Mobilitas juga identik dengan kegairahan ekonomi.

Akses yang terbuka luas akan membuat hasil-hasil ekonomi desa juga mudah dijual sehingga pendapatan warga bertambah. Peningkatan potensi ekonomi tidak hanya dengan jalan dan jembatan. Irigasi dibutuhkan untuk menjaga pasokan air bagi budi daya tanaman. Masih sangat banyak desa yang belum memiliki jaringan air bersih.

Program dana desa bisa dilakukan untuk mewujudkan prasarana-prasarana tersebut. Sesungguhnya, penekanan pada sektor infrastruktur tetap memunculkan gelora baru. Belum lagi semangat proyek-proyek yang didanai lewat program ini adalah padat karya.

Ekonomi desa bakal bergerak karena terdapat penambahan uang beredar. Pada sisi lain, proyek-proyek itu menambah pula tingkat kestrategisan desa pada masa depan. Dengan kekuatan ekonomi yang bertambah, peran masyarakat desa sebagai konsumen juga akan meningkat.

Peningkatan konsumsi akan memperdalam struktur ekonomi, yang pada gilirannya juga menjadi fondasi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Fokus pada sektor infrastruktur, dengan demikian memang diperlukan.

Keterbatasan penggunaan dana desa sebenarnya justru akan mempercepat pembuatan landasan bagi kegairahan ekonomi di berbagai penjuru. Namun, yang harus diingat adalah kehadiran budaya baru bagi para aparat desa.

Budaya itu adalah disiplin dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan. Mereka dituntut untuk mempertanggungjawabakan secara baik proyek-proyek yang dibangun dengan dana desa, dan juga menjadi bagian dari sistem keuangan internal yang baik.

Pendapatan-pendapatan desa harus dicatat dan dilaporkan secara berkala. Itu semua membutuhkan SDM terampil dan memadai jumlahnya. Pengawasan juga harus berjalan konsisten dan terpadu.

Sumber: Suara Merdeka

14 Januari 2016

UUPA dan UU Desa: Masa Jabatan Keuchik 6 Tahun

"Secara umum tidak terdapat khilafiah terkait masa jabatan keuchik di Aceh, baik menurut UUPA dan UU Desa. Kedua UU ini dengan tegas menyebutkan masa jabatan kades (keuchik) yaitu 6 tahun masa jabatan".
Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.

Dalam UU Desa No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam implementasi atau penerapan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, untuk beberapa provinsi diberikan Ketentuan Khusus

Dalam UU Desa dijelaskan, khusus bagi Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan kebijakan mengenai pengaturan Desa di samping memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang ini juga memperhatikan:
  • Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang; dan
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
UUPA dan UU Desa: Masa Jabatan Keuchik 6 Tahun

Dalam UU Desa dijelaskan, Kepala Desa dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk Desa warga negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. 

Sementara itu, dalam UU Pemerintah Aceh terkait masa jabatan Keuchik (Kades) di Aceh diatur dalam Bab XV Pasal 15 ayat (3) berbunyi;

Gampong dipimpin oleh keuchik yang dipilih secara langsung dari dan oleh anggota masyarakat untuk masa jabatan 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Secara umum tidak terdapat khilafiah terkait masa jabatan keuchik di Aceh. Baik UUPA dan UU Desa dengan tegas mengatakan, masa jabatan kades (keuchik) yaitu 6 tahun. 

Dalam UUPA disebutkan, dalam melaksanakan tugasnya keuchik dibantu perangkat gampong yang terdiri atas sekretaris gampong dan perangkat gampong lainnya. 

Sekretaris gampong diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugasnya sekretaris gampong dan perangkat gampong lainnya bertanggung jawab kepada keuchik.[]

05 Januari 2016

Inspirasi: Cara Kades Mulkan Membangun Desa

Era pembaharuan desa sudah dimulai. Melalui UU Desa yang baru, desa memiliki kewenangan mengurus diri sendiri berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. (Baca: Mental Baru Memperlakukan Desa)

Ketika banyak orang meragukan dan khawatir atas kemampuan kades mengelola dana desa. Tapi tidak dengan kades yang satu ini, namanya Pak Mulkan. 

Yok kita simak, cara Kades Mulkam dalam mentata dan mengelola desanya sehingga berturut-turut dinobatkan sebagai desa pengelolaan administrasi terbaik sekabupaten. Bagaimana pula kiat-kiat Pak Kades Mulkam dalam meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes). 

Semoga menginspirasikan kita semua. Berikut beritanya disadur dari koran desa.

Desa Sungai Kapitan, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalteng menjadi desa dengan pengelolaan administrasi terbaik se-Kabupaten Kobar dua tahun berturut-turut berdasarkan audit Inspektorat Pemkab Kobar yakni 2013-2014. Pengelolaan administrasi ini meliputi laporan keuangan, data administrasi kependudukan dan surat menyurat dengan pihak luar.

“Sejak saya dilantik 2013 lalu, saya melihat kok administrasi desa ini kacau. Jadi saya putuskan untuk merekrut beberapa orang sarjana yang kompeten di bidangnya untuk membantu tugas-tugas saya khususnya yang terkait administrasi,” Kepala Desa (Kades) Sungai Kapitan Mulkan.

Mulkan mengaku lebih percaya diri menghadapi kucuran dana miliaran sesuai dengan UU Desa. Bukan justru jadi sumber kekhawatiran. Sebab dengan dana itu, desa bisa membangun sesuai dengan aspirasi warganya. Tidak harus berharap dari Pemkab Kobar melalui Dinas Pekerjaan Umum (PU).

“Jika banyak desa yang merasa gamang dan khawatir dengan kucuran dana desa yang nilainya miliaran tahun ini. Saya justru sebaliknya, dengan dana itu kan kita lebih leluasa membangun. Sungai Kapitan dapat dana desa lumayan besar sekitar Rp2,5 miliar,” katanya.

Saat ini, lanjut Mulkan, pihaknya juga telah membuat Peraturan Desa (Perdes) bersama Badan Permusyarawatan Desa (BPD) Sungai Kapitan untuk menarik dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan yang beroperasi di desanya. Perdes dibuat agar semua pungutan itu tidak dianggap liar.

“Di desa kami ini kan ada pelabuhan tambat kapal, SPBU, gudang-gudang milik perusahaan pupuk, kemudian depot pengisian Pertamina. Nah Pertamina ini yang sulit padahal mereka ini meng-cover lima kabupaten dan depotnya ada di desa kita ini,” jelasnya.

Mulkan menegaskan semua hal yang berhubungan dengan keuangan dilaporkan secara transparan ke masyarakat melalui website desa. Dalam laman website ini diunggah seluruh kegiatan pembangunan, baik pengeluaran dana, pemasukan PADes maupun hasil-hasil pembangunan secara fisik.

“Warga bisa langsung mengecek di website kita, jadi transparan semuanya, termasuk pungutan dana CSR itu, ada semua laporan keuangannya,” tegasnya.

31 Desember 2015

Huaxi Village “Desa Utopis Tiongkok”

Penduduk Huaxi Village yang sedang bekerja, tahun 1970/Foto:blog.livedoor.jp
Tiga puluh tahun lalu, warga Desa Huaxi, di timur Tiongkok, seperti Sun Hai Yan, hanya bisa makan daging paling bagus seminggu sekali. Sekarang Sun terbiasa makan di restoran mewah di desanya. Punya rumah dengan pilar ala Yunani dan tangga ala aristokrat Inggris-Victorian.

Dulu rakyat Huaxi umumnya masih tinggal di rumah-rumah petak kumuh dan mimpinya sekadar berjuang mengumpulkan uang untuk membeli sepeda.

Kini, atau sejak 20 tahun terakhir, Desa Huaxi, 160 kilometer di utara Kota Shanghai di Provinsi Jiangsu, berpenghuni sekitar 2.000 keluarga menjelma menjadi desa makmur. Warganya berseliweran dengan mobil-mobil built-up.

Warga desa punya rumah bagus rata-rata seluas 400 meter, saham komunal, punya minimal 1 mobil bagus, jaminan sosial yang kuat, hotel, agrobisnis, logistik, dan pabrik-pabrik seperti baja dan tekstil. Pendek kata, tak ada orang susah dan miskin di Huaxi.

Fasilitas publik dan kesejahteraan seperti pendidikan, kesehatan, kebutuhan pokok, disediakan begitu mengesankan oleh semacam pemerintahan yang dijalankan Komite Desa.

Sepuluh tahun terakhir Desa Huaxi menjadi semacam trofi dan megafon Republik Tiongkok untuk memberi tahu dunia beginilah racikan mereka tentang komunisme dan kapitalisme. Sebuah desa utopis yang bisa dilihat dan dikunjungi.

Pemilik Microsoft, Bill Gates, menyebut desa itu sejenis “bentuk baru dari kapitalisme”. Petinggi Partai Komunis Cina menyebutnya bentuk terbaik sosialisme.

Sementara Wu Renbao, arsitek Desa Huaxi, figur semacam Lee Kwan Yew untuk Huaxi, yang juga menjabat Sekretaris Partai Komunis Cina tahun 1961, bersama warga desa punya slogan sendiri “langit kami partai komunis, tanah kami sosialisme”.

Sanjungan dan kekaguman global kepada Desa Huaxi sudah tersampaikan sejak 8 tahun terakhir. Liputan media dunia umumnya menafsirkan desa itu sebagai racikan sosialisme dengan karakteristik Tiongkok.

Dunia terpana. Sebab, selain kesejahteraan sosial yang nyata, bagaimana mungkin sebuah desa yang awalnya dihuni 1.600 keluarga, bisa punya menara begitu tinggi, salah satu tertinggi di dunia, pabrik-pabrik, hotel mewah, tempat wisata kelas dunia, monumen-monumen desa yang artistik dan mahal, dan produksi kotor domestik setahun senilai Rp 131 triliun.

Menara pencakar langit itu dibuat sebagai mercu suar Tiongkok. Negeri ini selalu membuat menara untuk setiap kemajuan. Argumen mereka, setiap ada peningkatan ekonomi, dibutuhkan ruang dan bangunan. Dan, tentu saja, itu adalah simbol promosi kemajuan politik komunisme.

Bangunan pencakar langit itu bernama Langit Tinggi Sekali. Isinya terdiri dari hotel 826 kamar, ruangan pertemuan, jamuan makan mewah untuk 5 ribu orang, dan failitas megah lainnya. Warga Tiongkok bangga karena menara itu lebih tinggi dari banyak menara tinggi di dunia seperti Shard London Bridge.

Wu Renbo, arsitek Desa Huaxi, yang wafat Maret 2013, disebut-sebut menerapkan resep kombinasi antara kontrol politik yang menghasilkan stabilitas dan orientasi ekonomi berbasis komunal yang cepat kaya.

“Kita harus punya uang dan kaya. Tanpa itu kita bukan siapa-siapa,” kata Wu kepada warga.

Meski desa itu makmur dan warganya lebih kaya dari seluruh desa lain di Tiongkok, warga Huaxi hanya punya sedikit waktu dan kebebasan, terutama terhadap uang mereka.

Bar dan restoran tutup sebelum pukul 10 malam agar pekerja tidak tidur larut malam. Warga desa bekerja 7 hari penuh dalam seminggu. Liburan juga sangat jarang.

Warga Huaxi hanya memegang sedikit uang tunai dari aset saham mereka. Sekitar 80 persen dari bonus tahunan dan 95 persen deviden warga harus diinvestasikan kembali kepada komunal. Jika meninggalkan desa, mereka kehilangan saham komunal, fasilitas rumah, dan tunjangan kesejahteraan lainnya.

Saham akan tetap dimiliki selama warga tinggal di Huaxi dan selama bisnis dan pabrik-pabrik tetap berjalan. Pekerja pabrik-pabrik rata-rata warga Huaxi dan daerah-daerah sekitar yang terserap oleh kemajuan ekonomi Huaxi.

Perjudian dan narkoba dilarang sangat keras di desa. Bahkan tak ada yang disebut kehidupan malam seperti klub atau karaoke. Jika ada yang coba-coba, properti mereka akan disita.

Jalan-jalan Desa Huaxi lengang karena warganya sibuk bekerja. Tapi kerja keras itu jelas sekali terbayar dengan sistem hidup yang makmur.

Media-media domestik suka bersikap mendua melihat kemajuan desa ini. Huaxi mengalami dua kondisi “surgawi” dan “diktatorisme”. Warga punya kecukupan hidup yang tinggi, namun menjadi masyarakat industrialis yang menjemukan.

Kritik yang terdengar makin tidak sayup-sayup pula adalah model kekuasaan patron-klien yang dikembangkan keluarga Wu. Wu dituding membentengi dirinya dengan model ekonomi klientelistik di mana jerih payah dibayar dari kedekatan dengan lingkungan keluarga.

Namun, pada dasarnya keadilan dalam “persamaan dalam hasil bersama” masih sungguh sangat nyata dan tak terbantahkan dirasakan warga Desa Huaxi. Yang dibutuhkan warga desa mungkin sedikit demokrasi agar kepemimpinan dan ruang sosial tidak digenggam hanya oleh lingkaran keluarga Wu.

“Sosialisme berarti 98 dari 100 orang hidup bahagia,” kata Wu Renbao kepada media di Tiongkok.

Chih-Jou Chen, peneliti di Taiwan Academia Sinica, menilai langka Wu sebagai alternatif dari kerasnya komunisme ala Mao, namun tak juga ingin kehilangan nilai-nilai komunal. “Wu ingin menyelamatkan model sosialis dan beberapa nilai komunis,” tulisnya.

Profesor Wenxian Zhang, dari Rollins College Tiongkok, menyebut Wu, pensiunan pengurus partai komunis itu, sebagai pegiat ekonomi pasar sosialis dengan karakter ala Tiongkok yang agak bergaya feodal dan partiarkal. Sejak Wu wafat, kepemimpinan partai di Huaxi diserahkan pada anaknya, Wu Xie’en.

Pragmatisme terlihat makin menonjol di Huaxi daripada ideologi sebagai prinsip. Wu pernah berkata, “Mau isme lama atau isme baru, tujuan kita membuat semua orang menjadi kaya.”

Kiprah Wu di partai politik sejak awal memang lebih dekat dengan ide-ide keterbukaan yang sosialistik daripada komunistik.

Wu pernah ditangkap oleh “pasukan merah” di era Revolusi Kebudayaan yang digulirkan Mao Zedong di tahun 1970-an karena membuka pabrik. Dia sempat dijuluki “pelaju kapitalis”. Penahanan yang sama juga menimpa aktivis partai lain seperti Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping yang mengoreksi Revolusi Kebudayaan.

Tafsir ideologi Wu terhadap komunisme dan Revolusi Kebudayaan Mao jelas sekali terejawantah dalam sistem hidup Desa Huaxi yang dibangun dengan nilai-nilai komunalistik dan kerja keras.

Miao Xian, ibu muda yang bekerja di industri tekstil di Huaxi, mengaku tak keberatan bekerja 7 hari penuh, selama nilai-nilai komunal tetap menjadi prinsip. Dia ingin warga desa tetap menjaga kebersamaan itu. “Jika bermaksud meninggalkan desa ini, akan kehilangan hampir semuanya. Rumah, mobil, uang, subsidi, dan tunjangan lain,” kata Miao.

Turis yang datang ke desa itu sekitar 2 juta per tahun. Jumlah yang cukup fantastis untuk ukuran desa yang luasnya tak lebih besar dari 1.000 meter persegi. Mimpi-mimpi sosialistik Tiongkok terejawantah di desa ini, sebagian besarnya sudah menjadi kenyataan. Sebuah desa industrialis maju yang melesat tapi pula bisa kehabisan oksigen kebebasan dan spiritualisme akibat tekanan materialisme. [*]

Oleh: Hertasning Ichlas
Sumber: Feature Majalah The Geo Times Edisi 37 2015 - Source

13 November 2015

UU Desa: Mengakui Hak dan Kedaulatan Masyarakat Desa

Lahirnya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, telah melahirkan paradigma dan konsep baru bahkan kebijakan baru tentang tata kelola desa secara nasional. Desa bukan lagi sebagai sampul terbelakang, namun sudah menjadi halaman depan Indonesia.

Melalui UU Desa yang baru, hak dan kedaulatan Desa (atau nama lain) diangkat pada  derajat yang lebih tinggi, yang sekian lama hilang. Padahal, hak dan kedaulatan Desa, telah ada sebelum Indonesia terbentuk.


Maka dalam bagian penjelasan UU Desa dinyatakan bahwa tujuan UU No 6 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:
  1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik;
  3. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
  4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
  5. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  6. Mmeningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
  7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
  8. Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
  9. Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Dengan adanya pengakuan tersebut, tentu sangat membanggakan masyarakat Desa atau nama lainnya. Kini dengan UU Desa, masyarakat Desa dengan leluasa bisa melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya yang sudah lama berkembang di masyarakat Desa, yang pada masa Orde Baru diseragamkan. (Dbs)