16 Februari 2017

Belajar Tatacara Pengadaan Barang dan Jasa di Desa

Belajar Tatacara Pengadaan Barang dan Jasa Desa. Pengadaan Barang dan Jasa di Desa adalah kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa oleh Pemerintah Desa, baik dilakukan dengan cara swakelola maupun melalui Penyedia Barang/Jasa. 


Ketetntuan terkait dengan pengadaan barang/jasa di Desa telah diatur dalam Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa.

Pada prinsipnya pengadaan barang/jasa dilakukan secara swakelola dengan memaksimalkan penggunaan material/bahan dari wilayah setempat, dilaksanakan secara gotong-royong dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat untuk memperluas kesempatan kerja dan pemberdayaan masyarakat setempat.

Didalam Pelaksanaannya pengadaan Barang/Jasa perlu mempertimbangkan Prinsip-Prinsip Pengadaan Barang/Jasa di Desa, diantaranya:
  • Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas maksimum.
  • Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya;
  • Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh masyarakat dan penyedia barang/jasa yang berminat;
  • Pemberdayaan masyarakat,berarti pengadaan barang/jasa harus dijadikan sebagai wahana pembelajaran bagi masyarakat untuk dapat mengelola pembangunan desanya;
  • Gotong royong, berarti penyediaan tenaga kerja oleh masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan di desa dan;
  • Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan terkait dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Secara Umum Ruang Lingkup Kegiatan Pengadaan Barang/Jasa di Desa mencakup:

  • Pengadaan barang/jasa melalui swakelola, dimana pelaksanaan swakelola dilakukan oleh Tim Pengelola Kegiatan (TPK) adalah tim yang ditetapkan oleh kepala desa dengan surat keputusan, terdiri dari unsur pemerintah desa dan unsur lembaga kemasyarakatan desa untuk melaksanakan barang/jasa;
  • Pengadaan barang/jasa melalui swakelola meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan, pelaporan, dan pertanggungjawaban hasil pekerjaan;
  • Pengadaan barang/jasa melalui penyediaan barang/jasa dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan barang/jasa dalam rangka mendukung pelaksanaan swakelola ataupun memenuhi kebutuhan barang/jasa secara langsung di desa.
Terdapat tiga pihak yang berperan penting didalam pengorganisasian kegiatan barang/jasa di desa sebagai pengelola. Kepala Desa sebagai penanggungjawab utama program pembangunan desa, dalam hal teknis pengelolaan barang dan jasa di desa menetapkan Tim Pengelola Kegiatan (TPK) yang terdiri dari unsur Perangkat Desa dan lembaga kemasyarakatan desa.


Tata Cara Pelaksanaan Barang/Jasa di Desa, sebagai berikut:

1. Pengadaan Barang/Jasa dengan nilai sampai dengan Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). 
  1. TPK membeli barang/jasa kepada 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa
  2. Pembelian sebagaimana dimaksud pada angka 1), dilakukan tanpa permintaan penawaran tertulis dari TPK dan tanpa penawaran tertulis dari Penyedia Barang/Jasa
  3. TPK melakukan negosiasi (tawar-menawar) dengan Penyedia Barang/Jasa untuk memperoleh harga yang lebih murah.
  4. Penyedia Barang/Jasa memberikan bukti transaksi berupa nota, faktur, pembelian, atau kuitansi untuk dan atas nama TPK
2. Barang/Jasa dengan nilai di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)
  1. TPK membeli Barang/Jasa kepada 1 (satu) penyedia barang/jasa.
  2. Pembelian sebagaimana dimaksud pada angka 1), dilakukan TPK dengan cara meminta penawaran secara tertulis dari Penyedia Barang/Jasa dengan dilampiri daftar barang/jasa (rincian barang/jasa atau ruang lingkup pekerjaan, volume dan satuan).
  3. Penyedia barang/jasa menyampaikan penawaran tertulis yang berisi daftar barang/jasa (rincian barang/jasa atau ruang lingkup pekerjaan, volume, dan satuan) dan harga.
  4. TPK melakukan negosiasi (tawar-menawar) dengan Penyedia Barang/Jasa untuk memperoleh harga yang lebih murah.
  5. Penyedia Barang/Jasa memberikan bukti transaksi berupa nota, faktur, pembelian, atau kuitansi untuk dan atas nama TPK.
3. Pengadaan Barang/Jasa dengan nilai di atas Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)
  1. TPK mengundang dan meminta 2 (dua) penawaran secara tertulis dari 2(dua) Penyedia Barang/Jasa yang berbeda dilampiri dengan daftar barang/jasa (rincian barang/jasa atau ruang lingkup pekerjaan, volume, satuan) dan spesifikasi teknis barang/jasa
  2. Penyedia barang/jasa menyampaikan penawaran tertulis yang berisi Daftar Barang/Jasa (rincian barang/jasa atau ruang lingkup pekerjaan, volume, dan satuan) dan Harga.
  3. TPK menilai pemenuhan Spesifikasi Teknis Barang/Jasa terhadap kedua Penyedia Barang/Jasa yang memasukkan penawaran.
Apabila Spesifikasi Teknis Barang/Jasa yang ditawarkan:
  • Apabila diipenuhi oleh kedua Penyedia Barang/Jasa, maka dilanjutkan dengan proses negosiasi (tawar-menawar) secara bersamaan.
  • Apabila dipenuhi oleh salah satu Penyedia Barang/Jasa, maka TPK tetap melanjutkan dengan proses negosiasi (tawar-menawar) kepada penyedia Barang/Jasa yang memenuhi spesifikasi teknis tersebut.
  • Apabila tidak dipenuhi oleh kedua Penyedia Barang/Jasa, maka TPK membatalkan proses pengadaan.
Nah, setelah TPK membatalkan proses pengadaan. Apa yang harus dilakukan oleh TPK?

TPK melaksanakan kembali proses pengadaan. Dengan mengundang dan meminta 2 (dua) penawaran secara tertulis dari 2(dua) Penyedia Barang/Jasa yang berbeda dilampiri dengan daftar barang/jasa (rincian barang/jasa atau ruang lingkup pekerjaan, volume, satuan) dan spesifikasi teknis barang/jasa.

Apabila Spesifikasi Teknis Barang/Jasa yang ditawarkan:
  • Diipenuhi oleh kedua Penyedia Barang/Jasa, maka dilanjutkan dengan proses negosiasi (tawar-menawar) secara bersamaan.
  • Dipenuhi oleh salah satu Penyedia Barang/Jasa, maka TPK tetap melanjutkan dengan proses negosiasi (tawar-menawar) kepada penyedia Barang/Jasa yang memenuhi spesifikasi teknis tersebut.

Selanjutnya, TPK melakukan Negosiasi (tawar-menawar) untuk memperoleh harga yang lebih murah.

Hasil negosiasi dituangkan dalam surat perjanjian antara Ketua TPK dan Penyedia Barang/Jasa yang berisi sekurang-kurangnya:
  • Tanggal dan tempat dibuatnya surat perjanjian;
  • Para pihak;
  • Ruang lingkup pekerjaan;
  • Nilai pekerjaan;
  • Hak dan kewajiban para pihak;
  • Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan;
  • Ketentuan keadaan kahar; dan
  • Sanksi.
Nilai Pengadaan Barang/Jasa dapat disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing dalam batas kewajaran. Dalam penentuan dan penyesuain harga nilai barang/jasa harus ditetapkan oleh Bupati/Walikota (Perbup/Perwakil).

Belajar Tatacara Pengadaan Barang dan Jasa di Desa ini, diolah dari Perka LKPP dan berbagai sumber referensi lainnya. 

Bagi yang berminat Aplikasi Kontrak Penyediaan Barang/Jasa dalam format Microsoft Office Excell dapat diuduh dalam kumpulan format desa. Semoga bermanfaat.

Menteri DPDTT: Media Berperan Bangkitkan Optimisme Bangun Desa

Ayo Bangun Desa - Dana desa memiliki pengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja secara nasional. Data mencatat, pada tahun 2016 lalu, dana desa berkontribusi sebesar 0,9% pada Produk Domestik Bruto (PDB), menyumbang 0,04% dalam pertumbuhan ekonomi, dan menyerap tenaga kerja sebanyak 2.331.235 jiwa. Kabar baik dan kisah sukses yang dimiliki desa-desa pun perlu disampaikan kepada publik untuk terus membangun optimisme bersama.
Media sangat berperan besar dalam mempengaruhi dan membangkitkan optimisme dalam membangun desa.
Foto: Kemendesa, PDTT
“Media sangat berperan besar dalam mempengaruhi dan membangkitkan optimisme dalam membangun desa. Kita tidak perlu menunggu sempurna untuk memulai,” ujar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, saat berkunjung ke kantor redaksi Harian Kompas, Jakarta (14/2).

Dalam kesempatan tersebut, Menteri Eko juga memaparkan empat program prioritas Kemendes PDTT di tahun 21017 ini. Pertama, program Produk Unggulan Desa (Prudes) dan Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades) yang merupakan pengembangan komoditas unggulan desa untuk meningkatkan skala ekonomi. Kedua, pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai mesin penggerak ekonomi rakyat. Ketiga, pembangunan embung desa untuk peningkatan produktivitas pertanian. Keempat, pembangunan sarana olahraga.

“Kita juga akan mengembangkan sektor pariwisata. Desa perlu dibina untuk membangun desa wisata, lalu dibangun homestay. Dana desa nantinya juga bisa digunakan untuk membuat restoran-restoran sederhana. Aktivitas ekonomi harus tumbuh,” tambahnya.


Pimpred Kompas, Budiman Tanuredjo, mengatakan, Harian Kompas memiliki perhatian yang sama dalam pembangunan-pembangunan di desa. Beragam kisah sukses terdokumentasi dengan baik melalui tim penelitian dan pengembangan yang dimiliki.

“Litbang Kompas kami terus meneliti tentang desa wisata, desa cerdas, dan lainnya. Dengan adanya data dan kisah sukses yang dimiliki, hal itu dapat menjadi pembelajaran horizontal untuk desa-desa yang sudah jadi,” ujar Budiman.

Kompas, lanjutnya, memiliki visi yang sama dalam membangkitkan optimisme masyarakat. Ia menuturkan salah satu prinsip yang dipegang Kompas yakni communication of hope. Kisah-kisah sukses yang ada di desa dapat memancarkan energi positif sehingga elite nasional juga dapat belajar dari desa-desa.[Kemendesa, PDTT]

15 Februari 2017

Hari ini, Satelit Tercanggih Milik Indonesia Sukses Diluncurkan

Hari ini, 15 Februari 2017. Satelit Telkom 3S milik PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) akan diluncurkan di Gujana Space Center, Kourou, Guiana Perancis dengan menggunakan Ariane 5 ECA VA235 milik perusahaan peluncuran satelit Arianespace Europe, dengan Slot Orbit 118 bujur Timur atau di atas Pulau Kalimantan.
Hari ini, 15 Februari 2017. Satelit Telkom 3S milik PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) akan diluncurkan di Gujana Space Center, Kourou, Guiana Perancis dengan menggunakan Ariane 5 ECA VA235 milik perusahaan peluncuran satelit Arianespace Europe, dengan slot orbit 118 bujur timur atau di atas Pulau Kalimantan.
Foto: www.arianespace.com
Peluncuran Satelit Telkom 3S Indonesia berjalan sukses. Seperti dilansir dari situs arianespace.com. 

Berikut informasi tentang peluncuran Satelit Telkom 3S, seperti dikutip dari Biro Umum dan Humas Kementerian BUMN dan Tim Komunikasi Pemerintah Kemkominfo.

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keunikan kondisi geografis yang terdiri dari ribuan pulau dan pegunungan, sulit dijangkau oleh sistem komunikasi terrestrial maupun serat optik. 

Karenanya, sistem komunikasi satelit merupakan solusi tepat yang mampu menjangkau area terluar, terdepan, dan terpencil. Dengan kata lain, sistem komunikasi satelit merupakan penopang dan pemersatu wilayah nusantara.

Saat ini dua per tiga wilayah di Indonesia belum terjangkau sistem komunikasi terestrial. Teknologi satelit dan terestrial merupakan jaringan yang saling melengkapi (komplementer) dimana satelit bermanfaat memenuhi kebutuhan infrastruktur di daerah yang belum terjangkau oleh jaringan teresterial sehingga mampu meniadakan kesenjangan akses informasi.

Satelit memiliki peran dalam mewujudkan program Nawacita poin ke 1 yaitu melindungi warga negara melalui keamanan nasional dan pembangunan pertahanan serta memperkuat jati diri sebagai negara maritim. Selain itu, kehadiran satelit juga mendukung program Nawacita poin ke 3 yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dan memperkuat berbagai daerah dalam rangka negara kesatuan.

Kehadiran satelit juga akan mampu memenuhi kebutuhan layanan siaran televisi berkualitas tinggi (High-Definition Television), layanan komunikasi seluler, broadband internet, serta sistem komunikasi VSAT yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia, Asia Tenggara dan sebagian Asia Timur.

Kementerian BUMN melalui Telkom Indonesia menyadari benar fungsi dan manfaat strategis sistem komunikasi satelit bagi bangsa Indonesia. Selama 40 tahun, Telkom Indonesia telah tampil di garis depan dalam dunia komunikasi satelit Indonesia. Diawali dengan peluncuran satelit Palapa A1 pada tahun 1976, tahun 2017 ini Telkom Indonesia siap meluncurkan satelit terbarunya, Telkom 3S.

Satelit Telkom 3S adalah satelit komunikasi geostasioner milik Telkom Indonesia. Satelit ini ditempatkan pada posisi di atas equator dan bergerak mengelilingi bumi dengan lintasan berbentuk lingkaran yang memiliki sumbu rotasi sama dengan bumi. Satelit Telkom 3S akan menjangkau seluruh wilayah Indonesia, Asia Tenggara dan sebagian Asia Timur. Satelit Telkom 3S didesain untuk dapat melayani siaran televisi berkualitas tinggi (High-Definition Television), layanan komunikasi seluler, serta broadband internet.

Satelit Telkom 3S direncanakan diluncurkan pada 15 Februari 2017 pukul 04.39 WIB menggunakan roket Ariane 5 ECA VA235 milik perusahaan peluncur satelit Arianespace Europe. Peluncuran dilaksanakan di Guiana Space Center, Kourou, Guyana Perancis.

Dibandingkan satelit lain, Satelit Telkom 3S memiliki sejumlah keunggulan. Satelit Telkom 3S mampu memberikan layanan dengan bit-rate lebih tinggi, sehingga menghasilkan kualitas komunikasi yang lebih baik. 

Selain itu, Satelit Telkom 3S mampu mendukung siaran televisi berkualitas tinggi (High-Definition Television), layanan komunikasi seluler, serta broadband internet yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia, Asia Tenggara dan sebagian Asia Timur.

Menteri BUMN, Rini M. Soemarno mengatakan, peluncuran Satelit Telkom 3S ini diharapkan dapat menopang kemajuan industri nasional, mendukung konektivitas bangsa Indonesia, dan semakin memudahkan komunikasi antarwilayah di seluruh negeri. 

“Kehadiran Satelit Telkom 3S ini merupakan sebuah kebanggaan dan pencapaian luar biasa, yang akan memperkuat posisi dan kedaulatan Indonesia dalam kancah dunia digital di tingkat internasional,” ujar Menteri Rini.[]

14 Februari 2017

Belajar Tatacara Pengelolaan BUMDes

Badan Usaha Milik Desa - UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa menjelaskan bahwa Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola asset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.
Badan Usaha Milik Desa - UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa menjelaskan bahwa Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola asset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.
BUM Desa merupakan badan usaha yang ditetapkan melalui Peraturan Desa berdasarkan hasil keputusan Musyawarah Desa. Artinya, pembentukan BUM Desa hanya didasarkan pada Peraturan Desa dan tidak membutuhkan pengesahan dari Akta Notaris

Meskipun demikian, berdasarkan pasal 7 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, BUM Desa dapat terdiri dari unit-unit usaha yang berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

Dalam pasal 8 Permendesa No. 4 Tahun 2015, disebutkan BUM Desa dapat membentuk unit usaha meliputi: 

  1. Perseroan Terbatas sebagai persekutuan modal, dibentuk berdasarkan perjanjian, dan melakukan kegiatan usaha dengan modal yang sebagian besar dimiliki oleh BUM Desa, sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas; dan
  2. Lembaga Keuangan Mikro dengan andil BUM Desa sebesar 60 (enam puluh) persen, sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang lembaga keuangan mikro.

Dasar Hukum dan Peraturan Pelaksanaan BUM Desa :
  1. Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa;
  2. Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan Pelaksanaan Undang Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa; dan
  4. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.

Tujuan BUM Desa : 
  1. Meningkatkan perekonomian desa;
  2. Mengoptimalkan asset desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan desa;
  3. Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa;
  4. Mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga;
  5. Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga;
  6. Membuka lapangan kerja;
  7. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan, dan pemerataan ekonomi desa; dan
  8. Meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan Pendapatan Asli Desa.

Desa dapat mendirikan BUM Desa dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
  1. Inisiatif Pemerintah Desa dan/atau masyarakat Desa;
  2. Potensi usaha ekonomi Desa;
  3. Sumberdaya alam di Desa;
  4. Sumberdaya manusia yang mampu mengelola BUM Desa;
  5. Penyertaan modal dari Pemerintah Desa dalam bentuk pembiayaan dan Kekayaan Desa yang diserahkan untuk dikelola sebagai bagian dari usaha BUM Desa.

Beberapa langkah persiapan awal yang perlu dilakukan oleh Desa dalam mendirikan BUMDes antara lain, yaitu: 
  1. Melakukan sosialisasi ide atau inisiatif pendirian BUM Desa. Ide atau inisiatif ini bisa muncul dari Pemerintah Desa dan atau masyarakat. Dari manapun inisiatif tersebut jika dirasa baik bagi masyarakat, maka kuncinya adalah harus dibahas didalam Musyawarah Desa.
  2. Kemudian melakukan tinjauan atau kajian ringkas dengan mengidentifikasi potensi-potensi apa saja yang ada di desa, baik potensi sumberdaya alam, potensi pertanian, peternakan, perikanan, pariwisata, potensi budaya dan tradisi, potensi SDM masyarakat yang ada, potensi aset dan kekayaan desa yang menjadi kewenangan desa.
  3. Selanjutnya melakukan identifikasi atas aset-aset dan kekayaan yang ada di desa, serta memililah-milah mana yang merupakan kewenangan desa dan mana yang bukan kewenangan desa atas aset dan kekayaan yang ada di desa tersebut. Berdasarkan identifikasi tersebut kemudian ditetapkan peraturan desa tentang aset dan kekayaan desa yang menjadi kewenangan desa.

Tahapan-Tahapan dalam Pendirian BUM Desa

Tahapan-tahapan dalam pendirian BUM Desa (Badan Usaha Milik Desa) dapat dirinci sebagai berikut: 

Tahap I (Pra Musyawarah Desa) 

Melakukan sosialisasi dan penjajakan kepada warga desa peluang pendirian BUM Desa, melakukan pemetaan aset dan kebutuhan warga, menyusun draf Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BUM Desa, dan menentukan kriteria pengurus organisasi pengelola BUM Desa. 

Tahap II (Musyawarah Desa)

Menyampaikan hasil pemetaan dan potensi jenis usaha, menyepakati pendirian BUM Desa sesuai dengan kondisi ekonomi, potensi jenis usaha dan sosial budaya masyarakat; membahas Draf Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, memilih kepengurusan organisasi pengelola BUM Desa, sumber Permodalan BUM Desa, dan membentuk Panitia Ad-Hock perumusan Peraturan Desa tentang pembentukan BUM Desa. 

Tahap III (Pasca Musdes)

Menyusun Rancangan Peraturan Desa tentang Penetapan Pendirian Badan Usaha Milik Desa yang mengacu pada UU Desa, Peraturan Pelaksananaan dan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, pembahasan Rancangan Peraturan Desa tentang Penetapan Pendirian Badan Usaha Milik Desa, dan penetapan Peraturan Desa tentang Penetapan Pendirian Badan Usaha Milik Desa. 

Permendesa PDT dan Transmigrasi Nomor 4 tahun 2015 Pasal 7 menyatakan bahwa BUM Desa dapat terdiri dari unit-unit usaha yang berbadan hukum. Keberadaan unit usaha yang berbadan hukum tersebut dapat berupa lembaga bisnis yang kepemilikan sahamnya berasal dari BUM Desa dan masyarakat.

Dalam hal BUM Desa tidak mempunyai unit-unit usaha yang berbadan hukum, bentuk organisasi BUM Desa didasarkan pada Peraturan Desa tentang Pendirian BUM Desa. 

Susunan Organisasi Pengelola BUM Desa

Susunan kepengurusan organisasi pengelolaan BUMDes terdiri dari; (a) Penasihat; (b) Pelaksana Operasional; dan (c) Pengawas. Penamaan susunan kepengurusan organisasi BUMDes dapat menggunakan penyebutan nama setempat yang dilandasi semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Kepala Desa secara ex officio menjabat sebagai Penasihat BUMDes. Sebagai penasihat, kepala desa memiliki kewajiban dan kewenangan.

Kewajiban Penasihat BUM Desa
  1. Memberikan nasihat kepada Pelaksana Operasional dalam melaksanakan pengelolaan BUM Desa;
  2. memberikan saran dan pendapat mengenai masalah yang dianggap penting bagi pengelolaan BUM Desa; dan
  3. mengendalikan pelaksanaan kegiatan pengelolaan BUM Desa.

Kewenangan Penasihat BUM Desa

  1. Meminta penjelasan dari Pelaksana Operasional mengenai persoalan yang menyangkut pengelolaan usaha Desa; dan
  2. Melindungi usaha Desa terhadap hal-hal yang dapat menurunkan kinerja BUM Desa.
Modal awal BUM Desa

Modal awal BUMDes berasal dari penyertaan modal desa yang dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). Modal awal untuk BUM Desa tidak harus berasal atau dialokasi dari transfer Dana Desa. Modal awal untuk BUM Desa dapat dialokasikan dari dana manapun yang sudah masuk di rekening kas desa sebagai Pendapatan Desa di dalam APB Desa. 

Modal BUM Desa terdiri atas Penyertaan Modal Desa, dan Penyertaan Modal Masyarakat. 

Penyertaan Modal Desa, terdiri atas:
  1. Hibah dari pihak swasta, lembaga sosial ekonomi kemasyarakatan dan/atau lembaga donor yang disalurkan melalui mekanisme APB Desa;
  2. Bantuan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang disalurkan melalui mekanisme APB Desa;
  3. Kerjasama usaha dari pihak swasta, lembaga sosial ekonomi kemasyarakatan dan/atau lembaga donor yang dipastikan sebagai kekayaan kolektif Desa dan disalurkan melalui mekanisme APB Desa;
  4. Aset Desa yang diserahkan kepada APB Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Aset Desa.

Penyertaan modal masyarakat Desa
Penyertaan modal masyarakat Desa berasal dari tabungan masyarakat dan atau simpanan masyarakat.

Untuk mengembangkan Usaha BUM Desa, Desa selanjutnya dapat menambah penyertaan modal kepada BUM Desa yang dialokasikan melalui anggaran pembiayaan dalam APB Desa. Besaran penyaluran penyertaan modal harus mempertimbangkan kondisi keuangan desa dan kemampuan kapasitas BUM Desa dalam mengembangkan kegiatan usaha/bisnisnya. Kekayaan BUM Desa yang berasal dari penyertaan modal Desa merupakan kekayaan desa yang dipisahkan.

Demikian artikel tentang Belajar Tatacara Pendirian BUMDes, yang kami olah dari berbagai sumber. Semoga menjadi bahan yang bermanfaat dalam rangka pendirian Badan Usaha Milik Desa.  

13 Februari 2017

Juknis Belum Turun, Begini Cara Kades Siasati APBDes

Ayo Bangun Desa - Para kepala desa (kades) di Sragen mengambil kebijakan sendiri untuk menyiasati belum pastinya alokasi anggaran dana desa dari pemerintah pusat dan alokasi dana desa (ADD) dari Pemkab Sragen.


Para kepala desa (kades) di Sragen mengambil kebijakan sendiri untuk menyiasati belum pastinya alokasi anggaran dana desa dari pemerintah pusat dan alokasi dana desa (ADD) dari Pemkab Sragen.

Penyiasatan anggaran itu dilakukan agar pembangunan desa tidak terganggu. Kades Mojokerto Kecamatan Kedawung, Sunarto, sudah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa 2017 pada akhir Desember 2016 kendati belum ada kepastian nilai dana desa dan ADD.

Donwload: Rincian Dana Desa Tahun 2017 Menurut Kabupaten/Kota

Penetapan APB Desa 2017 tersebut, kata dia, masih mengacu alokasi anggaran pada APB Desa 2016. "Idealnya APB Desa untuk tahun berikutnya itu ditetapkan pada akhir tahun sebelumnya. Kalau APB Desa 2017 ya ditetapkan di Desember 2016.

Sejak dua tahun terakhir, nilai dana desa dan ADD itu selalu turun pada Februari atau Maret sehingga ada beberapa desa yang belum menetapkan APB Desa. Kami berani melangkah menetapkan APB Desa dulu. Setelah ada ketetapan nilai DD dan ADD 2017, kami akan mengubah APB Desa lewat mekanisme APB Desa Perubahan," ujar Sunarto, Sabtu (11/2/2017) siang.

Dia menjelaskan perubahan APB Desa 2017 itu terletak pada nilai dana desa dan ADD. Nilai dana desa pada 2016 untuk Mojokerto mencapai Rp640 juta menjadi Rp817 juta pada 2017. "Itu upaya kami menyiasati anggaran.

Baca: Alur Penyusunan Perubahan APBDes

Kami tidak mau ada masalah ketika ada warga yang kritis karena pembangunan terganggu. Dengan penetapan APB Desa mengacu tahun sebelumnya, pembangunan bisa berjalan," tuturnya. 

Sunarto masih memprioritaskan pembangunan infrastruktur desa pada 2017. Dia menargetkan ada 9 km jalan desa yang dibangun tahun ini. Dia belum berencana membentuk Badan Usaha Milik (BUM) Desa sebagaimana diamanatkan Bupati Sragen.

Baca: Prioritas Dana Desa untuk Bidang Pembangunan Desa

Berdasarkan kesepakatan dengan warga, Sunarto baru memikirkan pembentukan BUM Desa mulai 2018. Terpisah, Kades Patihan, Tri Mulyono, Sabtu sore, menyatakan belum berani menetapkan APB Desa 2017 karena masih menunggu kepastian nilai dana desa dan ADD serta juknisnya.

Sebagai persiapan, Tri sudah membuat rancangan APB Desa yang tinggal ditetapkan. "Begitu juklak dan juknis turun bersamaan dengan nilai dana desa dan ADD, APB Desa Patihan 2017 langsung bisa ditetapkan," ujarnya.

Baca: Prioritas Dana Desa untuk Bidang Pemberdayaan Masyarakat.

Dia menyampaikan nilai dana desa 2016 Desa Patihan senilai Rp607 juta dan nilai ADD 2016 senilai Rp500 jutaan. Kendati APB Desa 2017 belum ditetapkan, Tri menyatakan pembangunan desa tidak terganggu.

Sampai Februari ini, Tri mengatakan panitia tingkat desa masih menyelesaikan pekerjaan pembangunan dari Bantuan Keuangan Khusus (BKK) 2016. 

"BKK itu sering cair menjelang akhir tahun sehingga untuk realisasinya harus di tahun berikutnya. Jadi BKK 2016 itu baru turun Desember 2016 dan pelaksanaannya diberi toleransi sampai Februari 2017," tambahnya. (Sumber: solopos.com)

Pengisian Anggota BPD Harus Berdasarkan Keterwakilan Perempuan

Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disingkat BPD atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

Badan Permusyawaratan Desa

BPD memiliki peran peting dan strategis di desa. Dalam peraturan terbaru tentang Badan Permusyawaratan Desa, yaitu Permendagri No 110 Tahun 2016 disebutkan BPD terdiri atas, pimpinan dan bidang. 

Pimpinan BPD terdiri dari satu orang ketua, satu orang wakil ketua, dan satu orang sekretaris. Sedangkan bidang BPD terdiri dari Bidang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Pembinaan Kemasyarakatan, dan Bidang Pembangunan Desa dan Pemberdayaan masyarakat Desa. 

Masing-masing bidang dipimpin oleh ketua bidang, dan pimpinan BPD dan ketua bidang merangkap sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa.

Pengisian keanggotaan BPD selain dilakukan berdasarkan keterwakilan wilayah, juga memperhatikan keterwakilan perempuan.

Lalu apa yang dimaksud dengan perwakilan wilayah dan perempuan. Berikut penjelasannya.

BPD Berdasarkan Keterwakilan Wilayah

Adapun yang dimaksud dengan pengisian anggota BPD berdasarkan keterwakilan wilayah, yaitu memilih calon anggota BPD dari unsur wakil wilayah pemilihan dalam desa.

Unsur wakil wilayah adalah masyarakat desa dari wilayah pemilihan dalam desa. Yang dimaksud dengan wilayah dalam desa seperti wilayah dusun, rukun warga (RW) atau rukun tetangga (RT).

Sementara itu, jumlah anggota BPD dari masing-masing wilayah ditetapkan secara proposional dengan memperhatikan jumlah penduduk.

Dalam Pasal 5 Ayat 2 disebutkan, jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah gasal (ganjil), paling sedikit 5 orang dan paling banyak 9 orang. 

Pun demikian, dalam penetapan jumlah anggota BPD memperhatikan jumlah penduduk dan kemampuan Keuangan Desa.

BPD Berdasarkan Keterwakilan Perempuan

Pengisian anggota BPD berdasarkan keterwakilan perempuan dilakukan pemilihan untuk memilih satu orang perempuan sebagai anggota BPD.

Wakil perempuan adalah perempuan warga desa yang memenuhi syarat calon anggota BPD serta memiliki kemampuan dalam menyuarakan dan memperjuangan kepentingan perempuan.

Dalam pemilihan unsur wakil perempuan dilakukan oleh perempuan warga desa yang memiliki hak pilih. 

Namun, yang perlu digaris bawahi adalah ketentuan lebih lanjut mengenai BPD diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota masing-masing.

12 Februari 2017

Format Laporan Kepala Desa Akhir Tahun Anggaran

Kepala Desa atau sebutan lain adalah pejabat pemerintah Desa yang mempunyai wewenang, tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga desanya dan melaksanakan tugas dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Dalam menjalankan tugas, pada setiap tahun anggaran kepala desa berkewajiban membuat dan menyusun laporan pertanggungjawaban kinerja atas penyelenggaraan pemerintahan Desa.

Laporan Kepala Desa adalah proses kegiatan pelaporan penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat. 

Dalam Pasal 2 Permendagri Nomor 46 Tahun 2016 tentang Laporan Kepala Desa. Terdapat empat laporan penyelenggaraan pemerintahan Desa yang wajib dibuat dan disusun oleh Kepala Desa, yaitu: 

  • Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa akhir tahun anggaran;
  • Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa akhir masa jabatan;
  • Laporan Keterangan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa akhir tahun anggaran; dan
  • Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Kok banyak sekali sih laporan kades sekarang? Peraturannya memang begitu pak Kades. Mau tidak mau, laporan kinerja harus dibuat dan disusun. 

Lalu, bagaimana cara membuat dan menyusunnya? Disini kami akan membantu mempermudah cara menyusun keempat laporan kades tersebut berserta formatnya.

Format Laporan Kepala Desa yang pertama, yaitu Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa akhir tahun anggaran, atau yang sering disingkat dengan LPPD Akhir Tahun Anggaran.

Kapan LPPD akhir tahun anggaran diserahkan? 
Tiga bulan sejak berakhirnya tahun anggaran (Bulan Maret tahun berkenaan) Kepala Desa membuat Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Desa / LPPD akhir tahun anggaran. Disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat.

Apa saja muatan materi LPPD akhir tahun anggaran? 
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Akhir Tahun Anggaran dibuat dengan sistematika, sebagai berikut:

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

  • Tujuan penyusunan laporan
  • Visi dan misi penyelenggaraan pemerintahan desa
  • Strategi dan kebijakan
BAB II LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DESA
  • Program Kerja penyelenggaraan Pemerintahan Desa
  • Program Kerja Pelaksanaan Pembangunan
  • Program Kerja Pembinaan Kemasyarakatan
  • Program Kerja Pemberdayaan Masyarakat
  • Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
  • Keberhasilan yang dicapai, Permasalahan yang dihadapi dan Upaya yang ditempuh.
BAB III PENUTUP
  • Kesimpulan Laporan
  • Penyampaian ucapan terima kasih
  • Saran dan permohonan petunjuk serta arahan lebih lanjut
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran laporan rekapitulasi jumlah penduduk pada akhir bulan Desember

Secara lengkap sistematika penyusunan laporan silahkan dilihat dalam Format Laporan Kepala Desa.

Secara lengkap dan detil draf Format Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa akhir tahun anggaran, dapat di unduh di menu Format Desa. Silahkan dilakukan pengeditan dan menyesuaikan sesuai kondisi desa masing-masing.[]

11 Februari 2017

Tiga Tahun UU Desa

Kebijakan ini saya pastikan gagal," ujar Didik J Rachbini suatu ketika. Dua tahun setelah itu, sebuah berita berkata lain: "Dana desa sudah bisa memperkuat daerah-daerah terpencil."
Tak mudah mengevaluasi kinerja implementasi UU Desa setelah tiga tahun penerapannya.
Images: Kompas
Tak mudah mengevaluasi kinerja implementasi UU Desa setelah tiga tahun penerapannya. Sejak awal tidak adabaseline data yang digunakan sebagai pijakan. Tak ada masalah baru dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah, mulai dari pusat hingga kabupaten, gagal menangkap roh UU Desa. Prinsip rekognisi dan subsidiaritas tidak ditaati.

Hasil survei yang menggunakan metodologi digital terhadap 24 sumber berita di pusat dan daerah lebih minor lagi. Dengan mengecualikan beberapa kata kunci, berita yang paling banyak diliput adalah soal pemilihan kepala desa. Disusul tentang badan usaha milik desa (BUMDes); rencana pembangunan jangka menengah desa; musyawarah desa; serta anggaran pendapatan dan belanja desa. Dua kepentingan kelompok elite desa lebih dapat tempat ketimbang tiga urusan lain terkait kepentingan warga.

Lilitan regulasi
Urutan masalah selama dua tahun pelaksanaan UU Desa lebih panjang daripada catatan keberhasilannya. Begitu kesimpulan Taufik Madjid, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Desa pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), sebagaimana dilaporkan berbagai media. Mudah diduga, ini implikasi langsung kebijakan Presiden Jokowi yang membagi urusan desa pada tiga kementerian.

Secara horizontal, kebijakan antar-kementerian tidak saling berkesesuaian. Secara vertikal, kebijakan yang lebih rendah tak taat asas. Ambil contoh regulasi tentang kewenangan desa. Semula ia diatur dalam Permendes PDTT Nomor 1 Tahun 2015. Setahun kemudian baru muncul Permendagri No 44/2016. Masalahnya, rincian kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa antara kedua kebijakan itu tak sama. Timbul kebingungan di lapangan. Padahal, kejelasan kewenangan desa ini penting untuk penyusunan dokumen perencana dan alokasi anggaran desa.

Isu lain: regulasi tentang penataan desa. Tiga tahun kebutuhan ini dibiarkan kosong. Akibatnya, inisiatif mendirikan sekitar 130 desa adat di tingkat daerah tidak bisa dilanjutkan dengan proses registrasi desa (Zakaria, 2015, dan Epistema Institute, 2017). Baru akhir Januari lalu, tanpa proses konsultasi publik, Kemendagri memberlakukan Permendagri No 1/2017 tentang Penataan Desa.

Toh, persoalan tidak langsung selesai. Persyaratan pembentukan (pemerintahan) desa adat diberlakukan sama dengan pembentukan desa. Padahal, sebagaimana diatur pada Pasal 98 Ayat (2) UU Desa, proses pembentukan desa adat tidak sama dengan proses pembentukan pemerintahan desa adat. Alhasil, niat membayar utang konstitusional kepada masyarakat adat yang tertunda selama 70 tahun itu tidak akan segera terlaksana.

Tidak taat asas
Sejatinya, substansi pengaturan yang ada pada Permendes PDTT No 1/2015 jauh lebih konsisten ketimbang Permendagri No 44/2016. Paling tidak, meski hanya mengatur soal kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa, Permendes PDTT No 1/2015 setidaknya mengulangi apa yang telah disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No 43/2015. Sementara Permendagri No 44/2016 cenderung lebih menyederhanakan karena itu menjadi multitafsir.

Persoalan jadi makin rumit di tingkat kabupaten/kota. Untuk bisa menyalurkan dana desa, misalnya, kabupaten terpaksa menetapkan kewenangan desa. Padahal, kebijakan induk belum tersedia. Di tingkat kabupaten/kota kewenangan desa itu menjadi jauh lebih sempit lagi.

Masalah koordinasi pun kemudian jadi kebutuhan. Namun, kebijakan yang menaungi pun tidak kunjung datang. Masalah lain yang menonjol soal prioritas penggunaan dana desa dan alokasi dana desa. Prinsip rekognisi dan subsidiaritas juga belum diterapkan secara lebih konsisten. Faktanya, tiap tahun ada arahan dari pusat bagaimana dana desa pada tahun berjalan harus digunakan. Di tingkat lapangan, apa yang telah direncanakan dan diputuskan lewat musyawarah desa jadi teringkari.

Upaya peningkatan pelayanan publik pun lalu jadi polemik. Sebagian kalangan berpendapat, desa tidak berkewajiban menyediakan pelayanan publik yang jadi tugas negara, tetapi meningkatkan layanan melaluipenyediaan. Sebagian kelompok lain memahami pelayanan publik desa tidak ada bedanya dengan pelayanan publik oleh pemerintah pusat dan daerah. Sebagian kelompok lagi menghendaki pelayanan publik desa harus diatursecara administratif, baku, dan ketat (rezim administratif) (Ahmad Rofiq, 2016).

Masalah korupsi
Di samping beberapa masalah yang telah dijelaskan di atas, masih terdapat sejumlah masalah lain yang juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, baik (pemerintah) pusat maupun (pemerintah) daerah, dan juga para pihak yang peduli.

Pekerjaan rumah tersebut antara lain: (a) persoalan kapasitas aparatur aparat desa; (b) keragaman sistem aplikasi yang dipersiapkan untuk membantu administrasi dan keuangan desa; (c) masalah perekrutan dan kapasitas pendamping desa; (d) kejelasan pembagian kegiatan "desa membangun" di suatu sisi dan "pembangunan desa" di sisi lain; (e) alokasi dana desa dan alokasi dana desa yang lebih peduli dengan masalah kemiskinan dan kepentingan kelompok marjinal di dalam desa; (f) partisipasi masyarakat, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan terlebih lagi dalam proses pengawasan dari bawah; (g) masalah demokratisasi desa, utamanya keterwakilam kelompok-kelompok marjinal dan rentan dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa; serta (h) efektivitas dana desa, alokasi dana desa, dan aset desa (termasuk efektivitas BUMDes).

Kebijakan BUMDes yang jadi program utama Menteri Desa PDTT saat ini dianggap banyak pihak bertentangan dengan semangat UU Desa itu sendiri. "Kacau-balau! Sepertinya Pak Menterindak paham soal BUMDes yang seharusnya bagian dari kewenangan lokal berskala desa. Bukan bagian dari tugas perbantuan sebagaimana yang dimaksudkan Pak Menteri," komentar seorang pegiat BUMDes dari Kabupaten Bantul.

Salah satu persoalan yang perlu mendapat perhatian tentu saja soal korupsi. Merujuk jumlah kasus yang diterima (sekitar 362 kasus) dan yang layak ditindaklanjuti (87 kasus) KPK, secara persentase relatif rendah. Namun, menurut seorang mantan wali nagari di Sumatera Barat, kasus sejenis seharusnya jauh lebih luas. "Itu hanya puncak gunung es," kata sang mantan wali nagari itu menanggapi sebuahposting di laman Facebook.

Singkat kata, implementasi UU Desa, kecuali yang komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan aliran dana ke desa yang tahun anggaran 2017 ini mencapai angka Rp 60 triliun, memang masih jauh dari memuaskan. Maka, kritik tentang ambiguitas pengaturan desa oleh lebih dari satu kementerian itu perlu menjadi perhatian presiden dan para pembantunya. Waktu "belajar" tiga tahun rasanya cukup untuk menerapkan UU Desa ini secara lebih konsekuen di masa-masa yang akan datang.[*]

Oleh R YANDO ZAKARIA
Praktisi Antropologi, Anggota Tim Ahli DPR RI untuk RUU Desa. 
Harian Kompas, 11/02/2017

10 Februari 2017

Bumerang Dana Desa

"Kita menyambut baik langkah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo yang melibatkan KPK untuk mencegah penyimpangan dana desa.”

Dana Desa

Ada dua faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi: niat dan kesempatan. Ada niat tetapi tak ada kesempatan, tidak jadi korupsi. Ada kesempatan tetapi tidak ada niat, juga tidak akan terjadi korupsi. Adanya niat dan kesempatan itulah yang menyebabkan banyak kepala desa (kades), misalnya, melakukan korupsi dana desa. 

Seperti disampaikan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah, setelah KPK menerima kunjungan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo untuk koordinasi pencegahan penyimpangan dana desa, Rabu (1/2), ada indikasi penyimpangan dana desa yang disebabkan oleh sistemnya.

Bolong-bolong sistem dalam pengelolaan dana desa itulah yang menjadi kesempatan penyimpangan dana desa. Sepanjang 2016, KPK menerima 362 laporan masyarakat terkait dengan dana desa. Dari 362 laporan itu, 141 laporan direkomendasikan ditelaah, dan dari keseluruhan yang telah ditelaah, ada 87 laporan yang dikaji lebih dalam. Sebanyak 87 laporan inilah yang akan diusut KPK. Pasal 11 Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang; a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penagak hukum atau penyelenggara negara; b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau; c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar. Apakah kades termasuk penyelenggara negara?

Sesuai dengan UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), kades tidak termasuk pejabat negara. Adapun Pasal 1 angka 1 UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menyatakan, ”Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Apakah kades termasuk ke dalam Pasal 1 angka 1 UU No 28/1999 tersebut? Masih debatable.

Katakanlah tidak termasuk penyelenggara negara, dan nilai korupsinya pun tak sampai Rp1 miliar, namun bila kasusnya menarik perhatian yang meresahkan masyarakat, kades tetap bisa dijerat oleh KPK, bahkan meskipun terjadi di sebuah desa terpencil nun jauh dari Jakarta. Bagaimana dengan niat?

Niat ini relatif, karena adanya di dalam hati. Namun, bila melihat besarnya dana desa, bisa jadi seseorang yang semula tidak berniat korupsi kemudian timbul niat.

Tiap Tahun Naik

Setiap tahun Presiden Joko Widodo dan DPR RI menaikkan anggaran dana desa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada 2015, dana desa sebesar Rp 20,8 triliun, tahun 2016 naik menjadi Rp 46,96 triliun, tahun 2017 ini naik menjadi Rp 60 triliun, dan tahun depan akan naik lagi menjadi Rp 120 triliun.

Saat ini, dana desa yang diterima rata-rata mencapai Rp 800 juta per desa, dan akan ditingkatkan hingga mencapai Rp1 miliar per desa. Ini belum ditambah Alokasi Dana Desa (ADD) yang jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah per desa. Bayangkan, sebuah desa yang biasanya berkutat dengan anggaran puluhan atau ratusan juta rupiah, kini harus mengurus anggaran miliaran rupiah. Ini bisa menjadi kesempatan emas bagi kades atau pejabat desa lainnya, sehingga kemudian timbul niat untuk korupsi. Apalagi, dana yang harus dikeluarkan dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) saat ini, terutama untuk ”serangan fajar”, ralatif tinggi, ratusan juta bahkan hingga miliaran rupiah.

Di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, misalnya, seorang calon kades bisa menghabiskan uang hingga Rp 3 miliar. Bila dilihat dari gaji atau ìbengkokî dan fasilitas lainnya yang diterima kades, secara logika, tak mungkin dana sebesar itu bisa kembali atau break effent point (BEP) dalam 6 tahun masa jabatan kades. Satu-satunya jalan agar kembali modal adalah korupsi.

Maka tak heran bila saat ini banyak kades yang terlibat korupsi dana desa. Niat dan kesempatan kian sempurna bila berpadu dengan ketidakmampuan kepala desa dalam mengelola anggaran, dan kekuasaan yang dimiliki kepala desa yang hanya dikontrol oleh Badan Perwakilan Desa (BPD) yang biasanya anggota dan pimpinannya adalah orang-orang dekat kades. Kesalahan administrasi saja bisa mengantarkan kades ke penjara. Di sisi lain, kekuasaan yang dimiliki kades, sebagaimana dalil Lord Acton (1834-1902) ”Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak cenderung korup mutlak pula), juga bisa mengantarkan kades ke penjara. Membangun desa dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan adalah salah satu poin Nawa Cita Presiden Jokowi.

Ini selaras dengan lahirnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa yang sebelumnya tidak punya banyak dana, sekarang berlimpah dana. Akankah melimpahnya dana desa tersebut menjadi bumerang yang mencelakakan kades dan rakyatnya?

Bisa jadi, terutama bila kades kurang berhati-hati. Sebab itu, kita menyambut baik langkah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo yang melibatkan KPK untuk mencegah penyimpangan dana desa. KPK juga sudah mengimbau agar masyarakat dilibatkan dalam pengawasan dana desa.

Pendampingan harus dilakukan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan, termasuk dalam menyusun pelaporan dan pertanggungjawabannya. Di sisi lain, kita berharap para kades membekali diri dengan kemampuan manajemen dan administrasi keuangan. Melawan korupsi tidak hanya dengan penindakan, tetapi juga dengan pencegahan. Bahkan mencegah lebih baik daripada mengobati.[]

Oleh Ahmad Najib Burhani
Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, 
Peneliti Senior di LIPI, Koran Sindo, 10/02/2017.