Tampilkan postingan dengan label Jurnal Desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jurnal Desa. Tampilkan semua postingan

01 Maret 2020

Kewenangan Desa dalam UU Nomor 6/2014

Kewenangan Desa dalam UU Nomor 6/2014 meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.


Dalam Pasal 19 dan 103 UU Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat mempunyai empat kewenangan meliputi; 

(1) Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul.

Kewenangan berdasarkan hak asal usul diatur dan diurus oleh Desa. Hal ini berbeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa.

(2) Kewenangan Lokal Berskala Desa 

Kewenangan lokal berskala Desa dimana Desa mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus desanya. Berbeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. 

(3) Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

(5) kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 20 UU Desa disebutkan pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa diatur dan diurus oleh Desa.  

Sedangkan terkait dengan pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diurus oleh Desa. 

Sementara itu, terkait dengan kewenangan penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa dalam pelaksanaan penugasan disertai biaya. 

Penjelasan lengkap terkait dengan Kewenangan Desa dapat dibaca dalam artikel Jenis-Jenis Kewenangan Desa dalam UU Desa

20 Januari 2020

Memahami Kewenangan Desa Berdasarkan UU Desa

1. Pengantar

Perdebatan soal bentuk dan jenis kewenangan lokal desa berdasarkan hak asal-usul, dan kewenangan desa berskala lokal sampai saat ini masih terus bergulir, dan bahkan tidak sedikit kalangan pemerintahan daerah merasa keberatan atas banyaknya kewenangan yang dimiliki desa, dan pada saat yang sama, pemerintah pusat melalui UU No. 23/2014 mengurangi kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam urusan perijinan dan pendidikan SLTA. Atas kondisi tersebut, masing-masing daerah seringkali menafsirkan sendiri soal kewenangan yang dimiliki desa tersebut. Hal ini disebabkan penafsiran terkait kewenangan tersebut memiliki konsekwensi langsung dan tidak langsung terhadap cakupan kekuasaan atas pengusulan, perencanaan pembangunan dan penggunaan anggaran negara di desa. Pada saat yang sama, tata kelola desa berada dalam dua kutub kewenangan yang bersifat hirarkis.


Pertama, kewenangan di bidang pemerintahan berada di kutub kendali Kementerian Dalam Negeri, kedua, kewenangan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan di bawah naungan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi.

Kedua kutub tersebut saling berebut saling berebut kendali terhadap desa, hal ini bisa dilihat dari berbagai dokumen kebijakan yang di terbitkan oleh dua kementerian tersebut yang saling overlapting (tumpang tindih). Kondisi ini tentu sangat “mengganggu” kewenangan yang bersifat rekognisi yang dimiliki desa. Atas persoalan tersebut, penulis sedikit membeberkan sekaligus memetakan kewenangan yang dimiliki desa, sebagaimana yang dimandatkan dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa.

Sekedar merefresh ingatan bahwa dalam UU No.6/2014 tersebut pada ketentuan umumnya mendefinisikan sekaligus menjelaskan bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Defenisi tersebut oleh penulis dipahami sebagai adanya pengakuan secara substantif tentang kedaulatan desa, bahkan secara radikal dapat dipahami sebagai pengakuan (bukan pemberian) kewenangan pemerintah pusat, dan pemerintah daerah terhadap eksistensi desa. Hal ini dipertegas dalam definisi Kewenangan Desa yang dijelaskan dalam UU No.6/2014 bahwa kewenangan desa adalah “kewenangan yang dimiliki Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat Desa”.

Pengakuan soal empat kewenangan tersebut, jika di konteks-kan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah, maka posisi otonomi desa, secara politik adalah equal, dimana prinsip desentralisasi, dekonsentrasi, delegasi dan tugas pembantuan juga dilaksanakan di desa.

Dengan kata lain, posisi politik dan anggaran desa jika dilihat dari 4 bentuk dan atau jenis kewenangan tersebut, sangat otonom, strategis dan setara dengan posisi pemerintah daerah jika berhadapan dengan pemerintah pusat.

2. Memahami Kewenangan

Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan yang dalam bahasa Belanda disebut “bevoegdheid” yang berarti wewenang atau berkuasa. Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam literasi politik-kekuasaan dan Hukum Tata Pemerintahan atau Hukum Administrasi, karena suatu pemerintahan atau organisasi pemerintah dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam konstitusi maupun regulasi turunannya, seperti peraturan perundang-undangan.

Jika mengacu pada pandangan SF. Marbun (1997), Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara, seperti halnya desa dalam menjalankan fungsinya. Dengan kata lain, wewenang desa adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum[1]

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, seperti halnya bagi desa. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu.

Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1989) diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan[2]. Lebih lanjut Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggungjawab untuk melakukan tugas tertentu.

Dengan menggunakan pendekatan tersebut di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa kewenangan yang dimiliki desa merupakan proses delegation of authoritydan proses decentralization of powerdilaksanakan melalui langkah-langkah konstitusional.

Prajudi Atmosudirdjo (1981) menyebutkan bahwa kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”[3].

Jika merujuk pada defenisi UU No. 6/2014, maka kewenangan berdasarkan hak asal usul adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Artinya bahwa kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang dimiliki desa, bukan karena pemberian dari pemerintah pusat, melainkan kewenangan yang bersifat otonom hasil dari rahim riwayat desa tersebut.

Hal ini tentu saja berbeda dengan Kewenangan lokal berskala Desa, yaitu kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakarsa masyarakat Desa, konsep kewenangan ini didasari pada prinsip desentralisasi, dan delegasi, dekonsentrasi.

3. Apa Saja Ruang Lingkup Kewenangan Berdasarkan Hak Asal –Usul?

UU No. 6/2014 merupakan lompatan besar adanya pengakuan kedaulatan desa. Kebijakan ini sangat progresif, karena membuka akses dan relasi antara negara dan masyarakat desa. Dimana selama ini relasi tersebut sangat timpang dan bersifat subordinat, sehingga melumpuhkan kreatifitas dan inovasi desa dalam membangun dirinya dan masyarakatnya. Melalui UU No. 6/2014, khususnya Permendes No.1/2015, negara mengakui adanya kewenangan desa. Dimana secara eksplisit dijelaskan bahwa ruang lingkup kewenangan berdasarkan hak asal usul Desa meliputi:

a. sistem organisasi perangkat Desa;

b. sistem organisasi masyarakat adat;

c.  pembinaan kelembagaan masyarakat;

d. pembinaan lembaga dan hukum adat;

e. pengelolaan tanah kas Desa;

f. pengelolaan tanah Desa atau tanah hak milik Desa yang menggunakan sebutan setempat;

g. pengelolaan tanah bengkok;

h. pengelolaan tanah pecatu;

i.  pengelolaan tanah titisara; dan

j.  pengembangan peran masyarakat Desa.

Kewenangan berdasarkan hak asal usul desa tersebut di atas ( point a sampai j) tidak lagi (sekedar) mencerminkan (bayangan), akan tetapi menjadi nyata soal adanya legitimasi desa dalam tata kelola pemerintahan, tata kelola masyarakat dan tata kelola aset desa. Mengacu pada ruang lingkup kewenangan yang dimiliki tersebut, maka tantangan yang harus dilewati oleh desa adalah, memastikan dengan seluruh kewenangan yang dimiliki tersebut dapat progresif membangun dan menyejahterakan masyarakat desanya.

Selain menjelaskan soal kewenangan hak asal usul desa, pada Pasal 3 (Permendes No. 1/2015), juga dijelaskan soal kewenangan berdasarkan hak asal usul Desa adat meliputi:

a. penataan sistem organisasi dan kelembagaan masyarakat adat;

b. pranata hukum adat;

c. pemilikan hak tradisional;

d. pengelolaan tanah kas Desa adat;

e. pengelolaan tanah ulayat;

f. kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa adat;

g. pengisian jabatan kepala Desa adat dan perangkat Desa adat; dan

h. masa jabatan kepala Desa adat.

Decentralization of power dan delegation of authority dalam UU No. 6/2014 diperkuat dengan prinsip rekognisi. Artinya siapapun dalam NKRI ini, termasuk pemerintah pusat memberikan pengakuan terhadap seluruh kewenangan yang dimiliki desa, dimana konsekwensi dari pengakuan tersebut, adanya jaminan politik-anggaran desa menjadi bagian dari penganggaran nasional (APBN). Hal ini juga yang mandatkan dalam Pasal 14, bahwa pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota harus mengakui, menghormati dan melindungi kewenangan berdasarkan hak asal usul.

4. Apa itu Kewenangan Lokal Berskala Desa?

Selain memberikan kepastian jaminan adanya kewenangan berdasarkan hak asal-usul, negara juga memberikan jaminan adanya kewenangan lokal yang berskala desa. Hal ini di atur dalam Pasal 5 (bab III), dimana kriteria kewenangan lokal berskala Desa meliputi:

a. kewenangan yang mengutamakan kegiatan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat;

b. kewenangan yang mempunyai lingkup pengaturan dan kegiatan hanya di dalam wilayah dan masyarakat Desa yang mempunyai dampak internal Desa;

c. kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan sehari-hari masyarakat Desa;

d. kegiatan yang telah dijalankan oleh Desa atas dasar prakarsa Desa;

e. program kegiatan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga yang telah diserahkan dan dikelola oleh Desa; dan

f. kewenangan lokal berskala Desa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pembagian kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota

Kewenangan lokal berskala desa tersebut (poin a sampai f) merupakan bentuk koreksi kritis terhadap perangai kebijakan pemerintah daerah (yang selama ini) menjadikan sebagai obyek pembangunan dan bukan sebagai subyek. Pengakuan kewenangan lokal berskala desa, juga menjadi solusi alternatif meretas persoalan terjadinya overlapting program dan kebijakan antar pemerintah daerah kabupaten, provinsi dan pusat tentang desa. Melalui kewenangan lokal berskala desa tersebut, pemerintah pusat memberikan warning kepada pemerintah daerah agar tidak lagi “menjadikan desa sebagai lokasi proyek” pembangunan. Perencanaan pembangunan yang di rancang oleh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) tidak boleh mengambil alih kewenangan desa, dan demikian sebaliknya, bahwa desa dalam merencanakan pembangunan desa, tidak boleh mengambil kewenangan yang seharusnya menjadi porsi pemerintah kabupaten atau provinsi.

Hal ini seperti yang dipertegas pada Pasal 7 Kewenangan lokal berskala Desa meliputi:

1. bidang pemerintahan Desa,

2. pembangunan Desa;

3. kemasyarakatan Desa; dan

4. pemberdayaan masyarakat Desa.

Pasal 8 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a antara lain meliputi:

1. penetapan dan penegasan batas Desa;

2. pengembangan sistem administrasi dan informasi Desa;

3. pengembangan tata ruang dan peta sosial Desa;

4. pendataan dan pengklasifikasian tenaga kerja Desa;

5. pendataan penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dan sektor non pertanian;

6. pendataan penduduk menurut jumlah penduduk usia kerja, angkatan kerja, pencari kerja, dan tingkat partisipasi angkatan kerja;

7. pendataan penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan jenis pekerjaan dan status pekerjaan;

8. pendataan penduduk yang bekerja di luar negeri;

9. penetapan organisasi Pemerintah Desa;

10. pembentukan Badan Permusyawaratan Desa;

11. penetapan perangkat Desa;

12. penetapan BUM Desa;

13. penetapan APB Desa;

14. penetapan peraturan Desa;

15. penetapan kerja sama antar-Desa;

16. pemberian izin penggunaan gedung pertemuan atau balai Desa;

17. pendataan potensi Desa;

18. pemberian izin hak pengelolaan atas tanah Desa;

19. penetapan Desa dalam keadaan darurat seperti kejadian bencana, konflik, rawan pangan, wabah penyakit, gangguan keamanan, dan kejadian luar biasa lainnya dalam skala Desa;

20. pengelolaan arsip Desa; dan

21. penetapan pos keamanan dan pos kesiapsiagaan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat Desa.

Pasal 9 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi:

1. pelayanan dasar Desa;

2. sarana dan prasarana Desa;

3. pengembangan ekonomi lokal Desa; dan

4. pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Desa.

Pasal 10 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a antara lain meliputi:

1. pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes;

2. pengembangan tenaga kesehatan Desa;

3. pengelolaan dan pembinaan Posyandu melalui: 1) layanan gizi untuk balita; 2) pemeriksaan ibu hamil; 3) pemberian makanan tambahan; 4) penyuluhan kesehatan; 5) gerakan hidup bersih dan sehat; 6) penimbangan bayi; dan 7) gerakan sehat untuk lanjut usia.

4. pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan tradisional;

5. pemantauan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif di Desa;

6. pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini;

7. pengadaan dan pengelolaan sanggar belajar, sanggar seni budaya, dan perpustakaan Desa; dan

8. fasilitasi dan motivasi terhadap kelompok-kelompok belajar di Desa.

Pasal 11 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang sarana dan prasarana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b antara lain meliputi:

1. pembangunan dan pemeliharaan kantor dan balai Desa;

2. pembangunan dan pemeliharaan jalan Desa;

3. pembangunan dan pemeliharaan jalan usaha tani;

4. pembangunan dan pemeliharaan embung Desa;

5. pembangunan energi baru dan terbarukan;

6. pembangunan dan pemeliharaan rumah ibadah;

7. pengelolaan pemakaman Desa dan petilasan;

8. pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan;

9. pembangunan dan pengelolaan air bersih berskala Desa

10. pembangunan dan pemeliharaan irigasi tersier;

11. pembangunan dan pemeliharaan lapangan Desa;

12. pembangunan dan pemeliharaan taman Desa;

13. pembangunan dan pemeliharaan serta pengelolaan saluran untuk budidaya perikanan; dan

14. pengembangan sarana dan prasarana produksi di Desa.

Pasal 12 Kewenangan lokal berskala Desa bidang pengembangan ekonomi lokal Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c antara lain meliputi:

1. pembangunan dan pengelolaan pasar Desa dan kios Desa;

2. pembangunan dan pengelolaan tempat pelelangan ikan milik Desa;

3. pengembangan usaha mikro berbasis Desa;

4. pendayagunaan keuangan mikro berbasis Desa;

5. pembangunan dan pengelolaan keramba jaring apung dan bagan ikan;

6. pembangunan dan pengelolaan lumbung pangan dan penetapan cadangan pangan Desa;

7. penetapan komoditas unggulan pertanian dan perikanan Desa;

8. pengaturan pelaksanaan penanggulangan hama dan penyakit pertanian dan perikanan secara terpadu;

9. penetapan jenis pupuk dan pakan organik untuk pertanian dan perikanan;

10. pengembangan benih lokal;

11. pengembangan ternak secara kolektif;

12. pembangunan dan pengelolaan energi mandiri;

13. pendirian dan pengelolaan BUM Desa;

14. pembangunan dan pengelolaan tambatan perahu;

15. pengelolaan padang gembala;

16. pengembangan wisata Desa di luar rencana induk pengembangan pariwisata kabupaten/kota;

17. pengelolaan balai benih ikan;

18. pengembangan teknologi tepat guna pengolahan hasil pertanian dan perikanan; dan

19. pengembangan sistem usaha produksi pertanian yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.

Pasal 13 Kewenangan lokal berskala Desa di bidang kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c meliputi:

1. membina keamanan, ketertiban dan ketenteraman wilayah dan masyarakat Desa;

2. membina kerukunan warga masyarakat Desa;

3. memelihara perdamaian, menangani konflik dan melakukan mediasi di Desa; dan

4. melestarikan dan mengembangkan gotong royong masyarakat Desa.

Pasal 14 Kewenangan lokal berskala Desa bidang pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d antara lain:

1. pengembangan seni budaya lokal;

2. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat;

3. fasilitasi kelompok-kelompok masyarakat melalui: 1) kelompok tani; 2) kelompok nelayan; 3) kelompok seni budaya; dan 4) kelompok masyarakat lain di Desa.

4. pemberian santunan sosial kepada keluarga fakir miskin;

5. fasilitasi terhadap kelompok-kelompok rentan, kelompok masyarakat miskin, perempuan, masyarakat adat, dan difabel;

6. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi paralegal untuk memberikan bantuan hukum kepada warga masyarakat Desa;

7. analisis kemiskinan secara partisipatif di Desa;

8. penyelenggaraan promosi kesehatan dan gerakan hidup bersih dan sehat;

9. pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi kader pembangunan dan pemberdayaan masyarakat;

10. peningkatan kapasitas melalui pelatihan usaha ekonomi Desa;

11. pendayagunaan teknologi tepat guna; dan

12. peningkatan kapasitas masyarakat melalui: 1) kader pemberdayaan masyarakat Desa; 2) kelompok usaha ekonomi produktif; 3) kelompok perempuan; 4) kelompok tani; 5) kelompok masyarakat miskin; 6) kelompok nelayan; 7) kelompok pengrajin; 8) kelompok pemerhati dan perlindungan anak; 9) kelompok pemuda; dan 10) kelompok lain sesuai kondisi Desa.

5. Bagaimana Cara Mengindentifikasi Kewenangan Desa?

Bupati/Walikota melakukan pengkajian untuk identifikasi dan inventarisasi kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa dengan cara:

a. inventarisasi daftar kegiatan berskala lokal Desa yang ditangani oleh satuan kerja perangkat daerah atau program-program satuan kerja perangkat daerah berbasis Desa;

b. identifikasi dan inventarisasi kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang sudah dijalankan oleh Desa; dan

c. membentuk Tim Pengkajian dan Inventarisasi terhadap jenis kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.

Dalam hal identifikasi tersebut, Desa melakukan identifikasi terhadap kegiatan yang sudah ditangani dan kegiatan yang mampu ditangani tetapi belum dilaksanakan. Untuk memastikan hal tersebut, maka desa membentuk tim pengkajian dan inventarisasi kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Tugas Tim Pengkajian dan Inventarisasi meliputi:

a. membuat rancangan daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa berdasarkan hasil kajian;

b. melakukan pembahasan rancangan daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa;

c. pembahasan rancangan sebagaimana dimaksud pada huruf b harus melibatkan partisipasi Desa, unsur pakar dan pemangku kepentingan yang terkait; dan

d. menghasilkan rancangan daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.

Hasil rancangan daftar kewenangan ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota, serta Bupati/Walikota harus melakukan sosialisasi Peraturan Bupati/Walikota kepada Desa, yang diikuti proses fasilitasi penetapan daftar kewenangan di tingkat Desa.

Peran kepala desa dan BPD menjadi sangat penting dalam urusan pengkajian dan inventarisasi serta identifikasi kewenangan tersebut, dimana pada Pasal 19 disebutkan bahwa:

“Kepala Desa bersama-sama BPD harus melibatkan masyarakat Desa melakukan musyawarah untuk memilih kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa dari daftar yang telah ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Desa”.

Lebih lanjut disebutkan pada Pasal 20, bahwa kepala Desa bersama-sama BPD dapat menambah jenis kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa lainnya sesuai dengan prakarsa masyarakat, kebutuhan dan kondisi lokal Desa. Serta Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa tentang kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa (pasal 21).

6. Pungutan Desa yang di larang dan di bolehkan

Desa dilarang melakukan pungutan atas jasa layanan administrasi yang diberikan kepada masyarakat Desa. (2) Jasa layanan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. surat pengantar; b. surat rekomendasi; dan c. surat keterangan.

Sedangkan kewenangan melakukan pungutan, sesuai Pasal 23 (1) disebutkan bahwa Desa berwenang melakukan pungutan atas jasa usaha seperti pemandian umum, wisata desa, pasar Desa, tambatan perahu, keramba ikan, pelelangan ikan, dan lain-lain. 

(2) Desa dapat mengembangkan dan memperoleh bagi hasil dari usaha bersama antara pemerintah Desa dengan masyarakat Desa.

7. Penutup

Kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan desa berskala lokal desa, merupakan bentuk dan jenis kewenangan yang diakui oleh negara dalam rangka mempercepat proses DESA MEMBANGUN INDONESIA. Oleh sebab itu desa harus memiliki kepercayaan diri dan optimisme dalam menata dan membangun dirinya. Keberhasilan desa untuk bangkit dari keterpurukan dan keterbelakangan ketika seluruh stakeholders desa bersatu, gotong royong menjalankan seluruh kewenangan yang dimilikinya secara konsisten untuk kepentingan bersama, bukan untuk membangun kejayaan segelintir orang apalagi untuk kepentingan kepala desa dan perangkat desa semata.

Penulis adalah Pendobrak Desa

Sumber: https://www.karanganyar.desa.id/2017/11/17/memahami-kewenangan-desa-berdasarkan-uu-desa/

13 November 2019

Indeks Desa Membangun Tahun 2019

Indeks Desa Membangun (IDM) merupakan Indeks Komposit yang dibentuk berdasarkan tiga indeks, yaitu Indeks Ketahanan Sosial, Indeks Ketahanan Ekonomi dan Indeks Ketahanan Ekologi/Lingkungan. 

Perangkat indikator yang dikembangkan dalam Indeks Desa Membangun dikembangkan berdasarkan konsepsi bahwa untuk menuju Desa maju dan mandiri perlu kerangka kerja pembangunan berkelanjutan di mana aspek sosial, ekonomi, dan ekologi menjadi kekuatan yang saling mengisi dan menjaga potensi serta kemampuan Desa untuk mensejahterakan kehidupan Desa. Kebijakan dan aktivitas pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa harus menghasilkan pemerataan dan keadilan, didasarkan dan memperkuat nilai-nilai lokal dan budaya, serta ramah lingkungan dengan mengelola potensi sumber daya alam secara baik dan berkelanjutan. Dalam konteks ini ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi bekerja sebagai dimensi yang memperkuat gerak proses dan pencapaian tujuan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Indeks Desa Membangun memotret perkembangan kemandirian Desa berdasarkan implementasi Undang-Undang Desa dengan dukungan Dana Desa serta Pendamping Desa. 

Indeks Desa Membangun mengarahkan ketepatan intervensi dalam kebijakan dengan korelasi intervensi pembangunan yang tepat dari Pemerintah sesuai dengan partisipasi Masyarakat yang berkorelasi dengan karakteristik wilayah Desa yaitu tipologi dan modal sosial.


14 Juli 2019

Pidato Lengkap Visi Indonesia Presiden Jokowi

Inilah petikan lengkap pidato Presiden terpilih Joko Widodo tentang Visi Indonesia yang disampaikan di Sentul International Covention Center (SICC) Bogor, Jawa Barat.

Indonesia Maju adalah Indonesia yang tidak ada satu pun rakyatnya tertinggal untuk meraih cita - citanya.

Assalamuallaikum Wr. Wb. 
Salam sejahtera bagi kita semua. 
Om swastiastu 
Namo buddhaya
Salam kebajikan
Bapak, Ibu, saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
Seluruh rakyat Indonesia yang saya cintai. Hadirin yang berbahagia.

Kita harus menyadari, kita harus sadar semuanya bahwa sekarang kita hidup dalam sebuah lingkungan global yang sangat dinamis! Fenomena global yang ciri-cirinya kita ketahui, penuh perubahan, penuh kecepatan, penuh risiko, penuh kompleksitas, dan penuh kejutan, yang sering jauh dari kalkulasi kita, sering jauh dari hitungan kita.

Oleh sebab itu, kita harus mencari sebuah model baru, cara baru, nilai-nilai baru dalam mencari solusi dari setiap masalah dengan inovasi-inovasi. Dan kita semuanya harus mau dan akan kita paksa untuk mau. Kita harus meninggalkan cara-cara lama, pola-pola lama, baik dalam mengelola organisasi, baik dalam mengelola lembaga, maupun dalam mengelola pemerintahan. Yang sudah tidak efektif, kita buat menjadi efektif! Yang sudah tidak efisien, kita buat menjadi efisien!

Manajemen seperti inilah yang kita perlukan sekarang ini. Kita harus menuju pada sebuah negara yang lebih produktif, yang memiliki daya saing, yang memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menghadapi perubahan-perubahan itu. Oleh sebab itu, kita menyiapkan tahapan-tahapan besar.

PERTAMA, pembangunan infrastruktur akan terus kita lanjutkan! Infrastruktur yang besar-besar sudah kita bangun. Ke depan, kita akan lanjutkan dengan lebih cepat dan menyambungkan infrastruktur besar tersebut, seperti jalan tol, kereta api, pelabuhan, dan bandara dengan kawasan-kawasan produksi rakyat. Kita sambungkan dengan kawasan industri kecil, sambungkan dengan Kawasan Ekonomi Khusus, sambungkan dengan kawasan pariwisata. Kita juga harus menyambungkan infrastruktur besar dengan kawasan persawahan, kawasan perkebunan, dan tambak-tambak perikanan. 

KEDUA, pembangunan SDM. Kita akan memberikan prioritas pembangunan kita pada pembangunan sumber daya manusia. Pembangunan SDM menjadi kunci Indonesia ke depan. Titik dimulainya pembangunan SDM adalah dengan menjamin kesehatan ibu hamil, kesehatan bayi, kesehatan balita, kesehatan anak usia sekolah. Ini merupakan umur emas untuk mencetak manusia Indonesia unggul ke depan. Itu harus dijaga betul. Jangan sampai ada stunting, kematian ibu, atau kematian bayi meningkat. Tugas besar kita di situ! 

Kualitas pendidikannya juga akan terus kita tingkatkan. Bisa dipastikan pentingnya vocational training, pentingnya vocational school. Kita juga akan membangun lembaga Manajemen Talenta Indonesia. Pemerintah akan mengidentifikasi, memfasilitasi, serta memberikan dukungan pendidikan dan pengembangan diri bagi talenta-talenta Indonesia.

Diaspora yang bertalenta tinggi harus kita berikan dukungan agar memberikan kontribusi besar bagi percepatan pembangunan Indonesia. Kita akan menyiapkan lembaga khusus yang mengurus manajemen talenta ini. Kita akan mengelola talenta-talenta hebat yang bisa membawa negara ini bersaing secara global.

KETIGA, kita harus mengundang investasi yang seluas-luasnya dalam rangka membuka lapangan pekerjaan. Jangan ada yang alergi terhadap investasi. Dengan cara inilah lapangan pekerjaan akan terbuka sebesar-besarnya. Oleh sebab itu, yang menghambat investasi, semuanya harus dipangkas, baik perizinan yang lambat, berbelit-belit, apalagi ada punglinya! Hati-hati, ke depan saya pastikan akan saya kejar, saya kontrol, saya cek, dan saya hajar kalau diperlukan. Tidak ada lagi hambatan-hambatan investasi karena ini adalah kunci pembuka lapangan pekerjaan. 

KEEMPAT, sangat penting bagi kita untuk mereformasi birokrasi kita. Reformasi struktural! Agar lembaga semakin sederhana, semakin simpel, semakin lincah! Hati-hati! Kalau pola pikir, mindset birokrasi tidak berubah, saya pastikan akan saya pangkas!

Kecepatan melayani, kecepatan memberikan izin, menjadi kunci bagi reformasi birokrasi. Akan saya cek sendiri! Akan saya kontrol sendiri! Begitu saya lihat tidak efisien atau tidak efektif, saya pastikan akan saya pangkas, copot pejabatnya. Kalau ada lembaga yang tidak bermanfaat dan bermasalah, akan saya bubarkan! 

Tidak ada lagi pola pikir lama! Tidak ada lagi kerja linier, tidak ada lagi kerja rutinitas, tidak ada lagi kerja monoton, tidak ada lagi kerja di zona nyaman. HARUS BERUBAH! Sekali lagi, kita harus berubah. Kita harus membangun nilai-nilai baru dalam bekerja, menuntut kita harus cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Maka kita harus terus membangun Indonesia yang ADAPTIF, Indonesia yang PRODUKTIF, dan Indonesia yang INOVATIF, Indonesia yang KOMPETITIF.

KELIMA, kita harus menjamin penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran. Setiap rupiah yang keluar dari APBN, semuanya harus kita pastikan memiliki manfaat ekonomi, memberikan manfaat untuk rakyat, meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat. 

BAPAK IBU DAN HADIRIN YANG BERBAHAGIA, namun perlu saya ingatkan bahwa mimpi-mimpi besar hanya bisa terwujud jika kita bersatu! Jika kita optimis! Jika kita percaya diri! Kita harus ingat bahwa negara kita adalah negara besar! Negara dengan 17 ribu pulau. Dengan letak geo-politik yang strategis. Kita adalah negara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika! Memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Demografi kita juga sangat kuat! Jumlah penduduk 267 juta jiwa, yang mayoritas di usia produktif.

Kita harus optimis menatap masa depan! Kita harus percaya diri dan berani menghadapi tantangan kompetisi global. Kita harus yakin bahwa kita bisa menjadi salah satu negara terkuat di dunia.

Persatuan dan kesatuan bangsa adalah pengikat utama dalam meraih kemajuan. Persatuan dan persaudaraan kita harus terus kita perkuat! Hanya dengan bersatu, kita akan menjadi negara yang kuat dan disegani di dunia! Ideologi Pancasila adalah satu-satunya ideologi bangsa yang setiap Warga Negara harus menjadi bagian darinya! 

Dalam demokrasi, mendukung mati-matian seorang kandidat itu boleh. Mendukung dengan militansi yang tinggi itu juga boleh. Menjadi oposisi itu juga sangat mulia. Silakan. Asal jangan oposisi menimbulkan dendam. Asal jangan oposisi menimbulkan kebencian. Apalagi disertai dengan hinaan, cacian, dan makian. 

Kita memiliki norma-norma agama, etika, tata krama, dan budaya yang luhur.

Pancasila adalah rumah kita bersama, rumah bersama kita sebagai saudara sebangsa! Tidak ada toleransi sedikit pun bagi yang mengganggu Pancasila! Yang mempermasalahkan Pancasila! Tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak mau ber-Bhinneka Tunggal Ika! Tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak toleran terhadap perbedaan! Tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak menghargai penganut agama lain, warga suku lain, dan etnis lain.

Sekali lagi, ideologi kita adalah Pancasila. Kita ingin bersama dalam Bhinneka Tunggal Ika, dalam keberagaman. Rukun itu indah. Bersaudara itu indah. Bersatu itu indah. 

Saya yakin, semua kita berkomitmen meletakkan demokrasi yang berkeadaban, yang menunjujung tinggi kepribadian Indonesia, yang menunjung tinggi martabat Indonesia, yang akan membawa Indonesia menjadi Indonesia Maju, Adil dan Makmur.

Indonesia Maju adalah Indonesia yang tidak ada satu pun rakyatnya tertinggal untuk meraih cita-citanya. Indonesia yang demokratis, yang hasilnya dinikmati oleh seluruh rakyat. Indonesia yang setiap warga negaranya memiliki hak yang sama di depan hukum. Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kelas dunia. Indonesia yang mampu menjaga dan mengamankan bangsa dan negara dalam dunia yang semakin kompetitif. 

Ini bukanlah tentang aku, atau kamu. Juga bukan tentang kami, atau mereka. Bukan soal Barat atau Timur. Juga bukan Selatan atau Utara. Sekarang bukan saatnya memikirkan itu semua. Tapi ini saatnya memikirkan tentang bangsa kita bersama. Jangan pernah ragu untuk maju karena kita mampu jika kita bersatu! 

Terima kasih,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bogor, 14 Juli 2019
CALON PRESIDEN TERPILIH,
JOKO WIDODO

22 Desember 2018

Ayo Kembali Ke Mandat UU Desa

Optimis diperlukan dalam membangun Desa. Optimis itu tidak hanya menunjuk pada semangat Kepala Desa. Tapi, semangat kolektif masyarakat Desa. Semangat yang menggerakkan prakarsa warga. Mengisi ruang hidupnya dengan ide-ide kemajuan Desanya.

Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014
Optimis diperlukan dalam membangun Desa. Optimis itu tidak hanya menunjuk pada semangat Kepala Desa. Tapi, semangat kolektif masyarakat Desa. Semangat yang menggerakkan prakarsa warga. Mengisi ruang hidupnya dengan ide-ide kemajuan Desanya.

Titik utama persoalan adalah sejauh mana keyakinan kita pada kalimat: masyarakat Desa sebagai subyek pembangunan? Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menegaskan: memperkuat masyarakat Desa sebagai subyek pembangunan adalah salah satu tujuan pengaturan Desa (Pasal 4 huruf i UU Desa).

Penguatan masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan merupakan konsekuensi logis dari pergeseran paradigma pembangunan Desa ke arah Pembangunan yang Berpusat pada Rakyat (People-Centered Development).

Upaya untuk mewujudkan penguatan masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan itu haruslah diselenggarakan sesuai dengan mandat Undang-Undang Desa, dengan fokus tindakannya adalah pemberdayaan masyarakat Desa.

Persoalan pemberdayaan itu bisa diuji dalam pelaksanaan Dana Desa. Pengaturan teknis prioritas penggunaan Dana Desa lebih diarahkan pada prioritas yang dikehendaki Pusat untuk dijalankan oleh Desa. Musyawarah Desa jadi proses legitimasi proses perencanaan agar kehendak Pusat bisa dijalankan di lokal Desa. Dan dengan begitu suara masyarakat Desa dalam musyawarah desa tidak tereksplorasi berdasar kebutuhan nyata lokal, tetapi mengesahkan program Pusat sebagai kegiatan Desa. 

Dalam proses yang demikian ini, yang kuat adalah Pemerintah Desa. Karena dalam “pilihan” model pemberdayaan seperti itu pintu utamanya adalah Pemerintah Desa, bukan keberdayaan masyarakat Desanya. Maka bisa diduga, yang disebut “keberhasilan” pelaksanaan Dana Desa adalah kegembiraan Pusat.

Keberdayaan masyarakat Desa adalah syarat keberlanjutan kemandirian Desa. Tindakan kemajuan Desa berasal dari prakarsa masyarakat Desa yang lekat dengan budaya setempat. Maka skema pelaksanaan pembangunan desa yang berpusat pada rakyat desa, atau yang disebut secara normatif sebagai masyarakat Desa adalah subyek pembangunan Desa, harus menjadi perhatian dalam pendekatan dan strategi pembangunan Desa. Dan bagaimana cara itu bisa dilakukan semua ada tersedia dan bisa dikembangkan lebih lanjut dalam berbagai metode dan alat bantu berdasar mandat UU Desa.

Proses evaluasi menyeluruh atas pelaksanaan UU Desa jadi penting di sini. Secara pendekatan, strategi dan kelembagaan yang dikembangkan sudah seharusnya dapat mewujudkan kemandirian Desa. Kegembiraan dan rasa optimis dalam pembangunan Desa sudah waktunya pula menjadi kegembiraan rakyat Desa. 

Desember, bulan terakhir tahun 2018 ini adalah waktu yang tepat untuk refleksi dan ajukan rekomendasi tindakan yang lebih baik untuk dan atas nama pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa. Ayo kembali ke mandat UU Desa.

Sumber: desalogi.id

28 November 2018

Cerita Sukses Dana Desa

Tahun ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) fokus membenahi penyaluran, mengantisipasi penyalahgunaan, serta memaksimalkan penyaluran dana desa. Pada awal pencairan tahun 2015, jumlah dana desa 20,76 triliun rupiah dan tahun ini menjadi 60 triliun rupiah. Penggunaan dana desa tahap pertama (2015) dan (2016) lebih untuk membangun infrastruktur.

Cerita Sukses Dana Desa  Tahun ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) fokus membenahi penyaluran, mengantisipasi penyalahgunaan, serta memaksimalkan penyaluran dana desa. Pada awal pencairan tahun 2015, jumlah dana desa 20,76 triliun rupiah dan tahun ini menjadi 60 triliun rupiah. Penggunaan dana desa tahap pertama (2015) dan (2016) lebih untuk membangun infrastruktur.  Tahap ketiga (2017) lebih didorong untuk merealisasikan program unggulan kawasan perdesaan, pembuatan embung, atau bangunan penangkap air. Juga untuk membentuk Badan Usaha Milik Desa serta sarana olahraga. Sedangkan tahun 2018, pemerintah berencana memfokuskan untuk program padat karya tunai.  Berpijak pada fakta di lapangan, sebenarnya tak sedikit sumbangan dana desa. Penduduk pedalaman menerima manfaatnya. Implementasi asas utama rekognisi-subsidiaritas yang diusung UU No 6/2014 benar-benar dirasakan.  Program pemetaan desa berhasil diselenggarakan lantaran kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut. Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mempunyai program unggulan yang kerap menjadi percontohan daerah lain terkait pemetaan desa. Program ini bukan sekadar pemetaan spasial, melainkan juga sosial.  Dari pemetaan diharapkan potensi serta masalah-masalah lokal bisa dicatat menjadi rujukan perencanaan program-program desa. Dengan menerapkan global positioning system (GPS), pemetaan menghabiskan dana desa 25 juta. Meski bernilai kecil, manfaatnya luar biasa. Apalagi, “peta desa” bakal disinkronkan dengan sistem informasi desa (SID) agar hasil pemetaan menjadi basis data digital lengkap bagi Desa Pandanlandung.  Desain program-program di level lokal yang direncanakan selalu berbasis data. Jadi, setiap program desa senantiasa memperhatikan realitas. Harapannya, di samping mencapai target, rencana ke depan tidak meleset. Sejumlah fakta menunjukkan, ketimpangan antara perencanaan dan realisasi program nasional maupun lokal karena data minim.  Dalam sejumlah kasus, kegagalan program pemerintah kerap karena belum ada data memadai. Sebaliknya, keberhasilan program pemerintah kerap ditopang tersajinya data yang valid. Jadi, data bisa meminimalkan kegagalan program. Data yang terkumpul menjadi sarana optimalisasi fungsi dan peran pemerintah desa melayani warga. Dana desa merupakan sumber daya penunjang peningkatan kinerja pemerintahan desa (Nata Irawan, 2017: 103).  Upaya memaksimalkan objek wisata swafoto di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, juga “berutang budi” pada dana desa. Guna menarik minat turis, pengelola objek wisata mengoperasikan dana desa untuk mempercantik sudut-sudut desa dan menonjolkan keasrian alam. Padahal, berdasarkan pengakuan Kepala Desa, Nowo, ketika Bejalen ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab Semarang pada 2009, kemampuan warga setempat belum sepenuhnya bisa diandalkan.  Pada waktu itu, pola pikir warga mengenai desa wisata belum terbentuk. Potensi wisata lokal pada mulanya kurang terkelola dengan baik. Pola pikir pengembangan desa wisata mulai terbangun seiring dengan semakin melonjaknya pengunjung ke Desa Bejalen. Optimalisasi desa wisata dilakukan antara lain dengan sosialisasi saptapesona: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Ini ternyata mampu mendongkrak kunjungan pelancong. Imbasnya, perekonomian warga ikut meningkat.  Tata kelola dana desa berperan besar mengenalkan ikon pariwisata lokal kepada publik. Sejumlah lokasi wisata yang selama ini kurang terekspos bisa dipromosikan secara luas. Penggunaan dana desa menemukan relevansinya. Apabila dikelola secara maksimal, mampu memberi sumbangsih nyata mempromosikan segala potensi desa     Persepsi Miring  Menyebarnya beragam cerita sukses dana desa semestinya memantik semangat semua pihak untuk mendukung pemerintah pusat mengawal dana desa. Memang dalam taraf tertentu, masih terdapat persepsi miring dan citra negatif mengenai dana desa. Selama ini, sering hanya dianggap memboroskan uang Negara. Dana desa juga dinilai telah melahirkan koruptor-koruptor kecil.  Terdapat kecenderungan bahwa kasus-kasus korupsi meluas dari level nasional ke lokal. Gagasan untuk menghormati warga desa melalui anggara ini dianggap kurang sebanding dengan “harga yang harus dibayar.” Dana desa tetap lebih banyak mendatangkan kebaikan, meski banyak desa belum mampu mengoptimalkan dana tersebut.  Bahkan, akibat besarnya dana yang diberikan ke desa, elite-elite lokal tergiur untuk menggelapkan, sehingga mereka terjebak pada perilaku koruptif. Tak heran, sebagian dari mereka akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Mengutip Ratno Lukito, kejahatan orang berkedudukan tinggi mengakibatkan konsekuensi lebih besar sehingga hukum yang ditimpakan juga lebih besar. Semakin tinggi kedudukan sosial seseorang, tambah berat pula hukuman (Ratno Lukito, 2012: 38).  Namun demikian, banyak fakta menunjukkan bahwa korupsi kepala desa berawal dari terbatasnya pemahaman tentang penggunaan dana desa. Meski tidak berniat memperkaya diri, sebagian dari mereka terpaksa tinggal selama beberapa tahun di bui lantaran telah alpa membelanjakan dana desa. Minimnya pengetahuan tentang dana desa membuat mereka dipenjara.  Dalam konteks ini, mereka sebenarnya terjebak pada “pseudo korupsi” di mana tindak pidana korupsi terjadi akibat ketidaksengajaan. Hal ini menyajikan informasi, sebagian kasus korupsi bukan termasuk kejahatan murni, tapi ketidaktahuan belaka. Nasib tragis sebagian perangkat desa tidak semestinya menularkan apatisme dan fobia dana desa. Ini justru harus menggugah semangat semua pihak untuk memetik pelajaran dan hikmah di baliknya. Jangan sampai dana APBN tersebut dikelola secara serampangan. Semua harus dipertanggungjawabkan dengan jelas.  Lebih dari itu, kisah “kegagalan” pemanfaatan dana desa di beberapa tempat tidak selayaknya memupus harapan untuk mengangkat harkat dan martabat orang desa melalui dana desa. Kepercayaan desa sebagai tulang punggung negara harus dirawat pejabat, akademisi, peneliti, pegiat, serta stakeholder lain. Ketimbang pesimisme lebih memupuk optimisme supaya uang dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan.  Bagaimanapun, kejayaan dan kemajuan negara ditopang eksistensi desa selaku penyanggaa. Ini terutama kondisi sosial, budaya, hukum, politik dan ekonomi nasional kerap tergantung pada situasi lokal. Dengan demikian, pemerintah harus terus membangun desa.

Tahap ketiga (2017) lebih didorong untuk merealisasikan program unggulan kawasan perdesaan, pembuatan embung, atau bangunan penangkap air. Juga untuk membentuk Badan Usaha Milik Desa serta sarana olahraga. Sedangkan tahun 2018, pemerintah berencana memfokuskan untuk program padat karya tunai.

Berpijak pada fakta di lapangan, sebenarnya tak sedikit sumbangan dana desa. Penduduk pedalaman menerima manfaatnya. Implementasi asas utama rekognisi-subsidiaritas yang diusung UU No 6/2014 benar-benar dirasakan.

Program pemetaan desa berhasil diselenggarakan lantaran kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut. Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, mempunyai program unggulan yang kerap menjadi percontohan daerah lain terkait pemetaan desa. Program ini bukan sekadar pemetaan spasial, melainkan juga sosial.

Dari pemetaan diharapkan potensi serta masalah-masalah lokal bisa dicatat menjadi rujukan perencanaan program-program desa. Dengan menerapkan global positioning system (GPS), pemetaan menghabiskan dana desa 25 juta. Meski bernilai kecil, manfaatnya luar biasa. Apalagi, “peta desa” bakal disinkronkan dengan sistem informasi desa (SID) agar hasil pemetaan menjadi basis data digital lengkap bagi Desa Pandanlandung.


Desain program-program di level lokal yang direncanakan selalu berbasis data. Jadi, setiap program desa senantiasa memperhatikan realitas. Harapannya, di samping mencapai target, rencana ke depan tidak meleset. Sejumlah fakta menunjukkan, ketimpangan antara perencanaan dan realisasi program nasional maupun lokal karena data minim.

Dalam sejumlah kasus, kegagalan program pemerintah kerap karena belum ada data memadai. Sebaliknya, keberhasilan program pemerintah kerap ditopang tersajinya data yang valid. Jadi, data bisa meminimalkan kegagalan program. Data yang terkumpul menjadi sarana optimalisasi fungsi dan peran pemerintah desa melayani warga. Dana desa merupakan sumber daya penunjang peningkatan kinerja pemerintahan desa (Nata Irawan, 2017: 103).

Upaya memaksimalkan objek wisata swafoto di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, juga “berutang budi” pada dana desa. Guna menarik minat turis, pengelola objek wisata mengoperasikan dana desa untuk mempercantik sudut-sudut desa dan menonjolkan keasrian alam. Padahal, berdasarkan pengakuan Kepala Desa, Nowo, ketika Bejalen ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab Semarang pada 2009, kemampuan warga setempat belum sepenuhnya bisa diandalkan.

Pada waktu itu, pola pikir warga mengenai desa wisata belum terbentuk. Potensi wisata lokal pada mulanya kurang terkelola dengan baik. Pola pikir pengembangan desa wisata mulai terbangun seiring dengan semakin melonjaknya pengunjung ke Desa Bejalen. Optimalisasi desa wisata dilakukan antara lain dengan sosialisasi saptapesona: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Ini ternyata mampu mendongkrak kunjungan pelancong. Imbasnya, perekonomian warga ikut meningkat.

Tata kelola dana desa berperan besar mengenalkan ikon pariwisata lokal kepada publik. Sejumlah lokasi wisata yang selama ini kurang terekspos bisa dipromosikan secara luas. Penggunaan dana desa menemukan relevansinya. Apabila dikelola secara maksimal, mampu memberi sumbangsih nyata mempromosikan segala potensi desa.

Persepsi Miring

Menyebarnya beragam cerita sukses dana desa semestinya memantik semangat semua pihak untuk mendukung pemerintah pusat mengawal dana desa. Memang dalam taraf tertentu, masih terdapat persepsi miring dan citra negatif mengenai dana desa. Selama ini, sering hanya dianggap memboroskan uang Negara. Dana desa juga dinilai telah melahirkan koruptor-koruptor kecil.

Terdapat kecenderungan bahwa kasus-kasus korupsi meluas dari level nasional ke lokal. Gagasan untuk menghormati warga desa melalui anggara ini dianggap kurang sebanding dengan “harga yang harus dibayar.” Dana desa tetap lebih banyak mendatangkan kebaikan, meski banyak desa belum mampu mengoptimalkan dana tersebut.

Bahkan, akibat besarnya dana yang diberikan ke desa, elite-elite lokal tergiur untuk menggelapkan, sehingga mereka terjebak pada perilaku koruptif. Tak heran, sebagian dari mereka akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Mengutip Ratno Lukito, kejahatan orang berkedudukan tinggi mengakibatkan konsekuensi lebih besar sehingga hukum yang ditimpakan juga lebih besar. Semakin tinggi kedudukan sosial seseorang, tambah berat pula hukuman (Ratno Lukito, 2012: 38).

Namun demikian, banyak fakta menunjukkan bahwa korupsi kepala desa berawal dari terbatasnya pemahaman tentang penggunaan dana desa. Meski tidak berniat memperkaya diri, sebagian dari mereka terpaksa tinggal selama beberapa tahun di bui lantaran telah alpa membelanjakan dana desa. Minimnya pengetahuan tentang dana desa membuat mereka dipenjara.


Dalam konteks ini, mereka sebenarnya terjebak pada “pseudo korupsi” di mana tindak pidana korupsi terjadi akibat ketidaksengajaan. Hal ini menyajikan informasi, sebagian kasus korupsi bukan termasuk kejahatan murni, tapi ketidaktahuan belaka. Nasib tragis sebagian perangkat desa tidak semestinya menularkan apatisme dan fobia dana desa. Ini justru harus menggugah semangat semua pihak untuk memetik pelajaran dan hikmah di baliknya. Jangan sampai dana APBN tersebut dikelola secara serampangan. Semua harus dipertanggungjawabkan dengan jelas.

Lebih dari itu, kisah “kegagalan” pemanfaatan dana desa di beberapa tempat tidak selayaknya memupus harapan untuk mengangkat harkat dan martabat orang desa melalui dana desa. Kepercayaan desa sebagai tulang punggung negara harus dirawat pejabat, akademisi, peneliti, pegiat, serta stakeholder lain. Ketimbang pesimisme lebih memupuk optimisme supaya uang dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan.

Bagaimanapun, kejayaan dan kemajuan negara ditopang eksistensi desa selaku penyanggaa. Ini terutama kondisi sosial, budaya, hukum, politik dan ekonomi nasional kerap tergantung pada situasi lokal. Dengan demikian, pemerintah harus terus membangun desa.


Oleh Riza Multazam Luthfy
Mahasiswa S3 Ilmu Hukum UII Yogyakarta
Sumber: koran-jakarta.com

29 September 2018

Menengok Data Perkembangan Desa

Data perkembangan desa menjadi kebutuhan pokok untuk mengukur bagaimana arah perubahan desa terjadi. Selama ini pemerintah telah menjadikan desa sebagai salah satu poros utama pembangunan. Puluhan triliun dana telah digelontorkan oleh pemerintah demi menjalankan misi pembangunan tersebut. Target pemerintah setidaknya mencapai 2.000 desa mandiri serta mengentaskan 5.000 desa tertinggal menjadi berkembang.

Data perkembangan desa menjadi kebutuhan pokok untuk mengukur bagaimana arah perubahan desa terjadi. Selama ini pemerintah telah menjadikan desa sebagai salah satu poros utama pembangunan. Puluhan triliun dana telah digelontorkan oleh pemerintah demi menjalankan misi pembangunan tersebut. Target pemerintah setidaknya mencapai 2.000 desa mandiri serta mengentaskan 5.000 desa tertinggal menjadi berkembang.
Semenjak UU Desa digulirkan empat tahun lalu, pemerintah mendukung gerakan pembangunan desa agar masyarakat desa bisa menjadi subjek pembangunan. Bukti ini tercetak jelas dalam Nawacita ketiga, yaitu "Membangun dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa Dalam Kerangka Negara Kesatuan." Upaya ini kemudian diperkuat dengan dukungan materiil berupa program dana desa.

Dana desa yang disalurkan tak tanggung-tanggung, mengalami kenaikan tiap tahunnya yaitu pada 2015 sebesar Rp 20,67 triliun, 2016 sebesar Rp 46,98 triliun, 2017 sebesar Rp 60 triliun, 2018 masih sebesar Rp 60 triliun, dan untuk 2019 pemerintah mengalokasikan hingga Rp 73 triliun. Dana ini banyak digunakan untuk perbaikan infrastruktur seperti jalan desa, air bersih, MCK, irigasi, PAUD, dan sebagainya. Pemerintah tentu mengharapkan hasil bagunan fisik ini berdampak besar pada akselerasi kemajuan desa.

Data yang Tersedia

Perkembangan desa bisa dilihat dari berbagai data yang tersedia. Salah satunya adalah Indeks Desa Membangun (IDM) yang diluncurkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). Indeks ini mengelompokkan desa menjadi lima kategori yaitu desa mandiri, desa maju, desa berkembang, desa tertinggal, dan desa sangat tertinggal. IDM mulai diluncurkan pada 2015 dengan bersumber pada data Potensi Desa yang telah dipublikasikan oleh BPS.

Ada 54 variabel yang kemudian dikelompokkan menjadi 3 dimensi yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Indikator sosial digunakan untuk melihat bagaimana kondisi sosial masyarakat desa yang terdiri dari modal sosial, kesehatan, pendidikan, dan permukiman. Dimensi ekonomi digunakan untuk menggambarkan bagaimana ketahanan ekonomi desa yang dilihat dari keragaman produksi desa, tersedianya pusat pelayanan perdagangan, akses distribusi/logistik, akses ke lembaga keuangan, lembaga ekonomi, dan keterbukaan wilayah. Sedangkan, dimensi terakhir yaitu dimensi ekologi melihat kondisi lingkungan desa dari variabel kualitas lingkungan, potensi rawan bencana, dan tanggap bencana.

Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo yakni 2015, hanya 173 (0,23%) dari 74.093 desa yang menduduki kategori desa mandiri, disusul 3.610 desa maju (4,83%), 22.916 desa berkembang (30,66%), 33.948 desa tertinggal (45,41%), dan 14.107 desa sangat tertinggal (18,87%). Data ini menunjukkan bahwa kondisi desa pada waktu itu masih didominasi oleh kategori desa tertinggal dan sangat tertinggal, sementara desa mandiri dan desa maju hanya mengambil porsi kurang dari 5% saja.

Perlu diingat kembali bahwa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pemerintah menargetkan terjadi peningkatan desa paling sedikit 2.000 desa mandiri dan penurunan desa tertinggal sampai dengan 5.000 desa tertinggal. Artinya, pemerintah harus bisa membuat komposisi perkembangan status desa yang terdiri dari setidaknya 2,93% desa mandiri, dan menekan jumlah desa tertinggal hingga tersisa 39,07% pada 2019. Bukan pekerjaan mudah tentunya. Pemerintah perlu terus memantau bagaimana perkembangan desa setiap tahunnya agar penanganan melalui kebijakan bisa sigap dilakukan.

Pada tahun berikutnya 2016, Kemendesa PDTT melakukan survei untuk mengisi kekosongan input data IDM, karena publikasi data Potensi Desa yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tidak dilakukan setiap tahun. Ada 1.429 desa yang dijadikan sebagai sampel yang hasilnya menunjukkan bahwa komposisi status perkembangan desa mengalami perbaikan. Meski tidak bisa dijadikan patokan sepenuhnya bahwa realitas seluruh desa lainnya mengalami perubahan dengan komposisi demikian, namun setidaknya dengan hasil survei ini, pemerintah bisa melihat gambaran kasar bagaimana arah pembangunan desa.

Dalam rentang waktu satu tahun, komposisi desa tertinggal mengalami penurunan dari 45,41% pada 2015 menjadi 31,36% pada 2016, jauh melebihi target yang diharapkan. Sementara, untuk desa mandiri juga mengalami perbaikan dari semula 0,23% menjadi 1,19% pada 2016. Komposisi status lainnya yaitu 15,32% desa maju, 46,95% desa berkembang, dan 5,17% desa sangat tertinggal. Sekali lagi, capaian ini diperoleh melalui hasil survei dengan sampel yang sedikit, sehingga pemerintah belum bisa melakukan klaim sepenuhnya.

Pada 2017, pemerintah absen dalam publikasi data perkembangan desa. Hal ini sebenarnya bukan tanpa alasan. Kali ini pemerintah melakukan survei kembali untuk melihat perkembangan desa secara lebih nyata dengan jangkauan sampel yang lebih besar yaitu 69.115 desa, hampir mendekati total keseluruhan desa yang berjumlah 74.794 desa. Konsekuensinya waktu yang dibutuhkan juga panjang, sehingga hasil survei yang telah dimulai pada 2017 ini baru bisa disampaikan ke publik satu tahun berikutnya yaitu tahun sekarang 2018.

Melihat dari segi jumlah sampelnya, survei kali ini dirasa lebih tepat dibandingkan dengan tahun dasar yakni 2015. Selama 3 tahun berjalan, status beberapa desa telah mengalami perbaikan. Jumlah desa maju bertambah menjadi 4.784 desa (6,92%), desa berkembang sebanyak 30.293 desa (43,83%), dan desa sangat tertinggal jauh berkurang menjadi 6.633 desa (9,6%). Bahkan untuk target pemerintah dalam mengentaskan setidaknya 5.000 desa tertinggal hampir tercapai, karena jumlah desa tertinggal terbaru sebanyak 27.092 desa (39,20%). Angka ini jauh berkurang dibandingkan 2015.

Jerih payah pemerintah dan berbagai pihak untuk mengangkat desa dari ketertinggalan tercermin dari hasil tersebut. Namun demikian, pekerjaan rumah tetap belum usai karena kondisi berbeda untuk target peningkatan desa mandiri. Datanya memang mengalami peningkatan namun tidak signifikan, yakni dari 173 desa pada 2015 menjadi 313 desa mandiri pada 2018, masih jauh dari target yang diinginkan. Akselerasi perbaikan status desa tertinggal sepertinya lebih kencang daripada desa mandiri.

Pemerintah harus bergegas diri untuk menelisik lebih dalam dan mencari solusi guna mewujudkan target yang telah direncanakan. Waktu yang tersisa kini hanya 1 tahun, butuh kerja keras dan dorongan gotong royong dari semua pihak. Mengungkit status desa demi kesejahteraan masyarakat desa merupakan tugas semua pihak yakni pemerintah, masyarakat desa, dan juga kita.

Oleh: Ana Fitrotul Mu'arofah, S.E, M.E 
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia

Sumber: Detik.com

27 September 2018

BUMDes sebagai Konektor 4.0

Revolusi Industri 4.0 bukan hanya masalah teknologi baru, tetapi masalah gagasan baru.
Revolusi Industri 4.0 bukan hanya masalah teknologi baru, tetapi masalah gagasan baru.
Berbeda dengan pemahaman banyak orang tentang disrupsi Industri 4.0, disrupsi tersebut tidak terjadi dengan acak. Disrupsi menyasar industri yang tidak efisien, contohnya industri transportasi, pemesanan tiket dan hotel dan sebentar lagi perbankan dan pendidikan. 

Customer sekarang berpikir mengapa saya harus membayar mahal, menunggu lama dan repot repot untuk hal hal yang bisa saya dapat lebih murah, cepat dan tidak repot.

Pebisnis lama, terjebak pada keyakinan-keyakinan usang. Bisnis hotel perlu modal besar, naik pesawat terbang memang biayanya mahal, buat supermarket perlu gudang besar. Keyakinan-keyakinan usang itu yang "membunuh" bisnis pemain-pemain lama.

Hal yang sama terjadi di desa. Berbeda dengan keyakinan banyak orang bahwa Revolusi Industri 4.0 akan menyulitkan desa, justru Revolusi Industri 4.0 akan membuka banyak peluang bagi desa.

Saat ini banyak start up didukung kemampuan teknologi tinggi dan pendanaan besar siap masuk desa. 

Mereka mengembangkan drone, dengan kemampuan pencitraan dan sensor yang super sensitif, sehingga bisa memotret warna daun, mengukur suhu, kelembapan dan mengkonversinya, dengan bantuan kecerdasan buatan, untuk menghitung jenis pupuk, komposisi dan takaran yang tepat untuk tiap pohon!

Sistem pengairan yang terhubung dengan kendali elektronik jarak jauh, bisa dikendalikan secara otomatis atau dimodifikasi lewat tablet dan handphone. Hasil pertaniannya sudah terkoneksi dengan pasar nasional dan global lewat e-commerce. Inilah pola pertanian para millenial, mereka bertani dengan gadget.

Akan semakin banyak anak muda millenial, membawa teknologi digital untuk masuk ke desa, khususnya pertanian. Mereka melihat inefisensi terbesar industri di Indonesia ada di pertanian. Mengapa harga Alpokat Soe di NTT hanya Rp3.600 per kg dan menjadi Rp50.000 per kg di Jakarta?

Desa bukan miskin potensi, ataupun sumber daya manusia. Desa hanya tidak memiliki konektivitas yang tepat. Infrastrukur yang jelek, skala produksi yang kecil-kecil dan menyebar, sehingga membuat produk desa kalah bersaing atau tidak menemukan ceruk pasar yang tepat. 

Sebesar-besarnya potensi di desa, tetapi kalau tidak konek dengan pasar yang membutuhkan maka akan sia-sia. Disinilah peluang terbesar generasi millenial dan teknologi digital untuk melakukan intervensi. Argumen kami yang terakhir disinilah peran strategis BUMDes.

BUMDes bisa menjadi konektor, untuk menghubungkan potensi desa yang belum optimal dengan pasar, anak muda dengan teknologi digital dan jejaring pemasaran nasional. Inilah yang kami sebut BUMDed sebagai Konektor 4.0

Jangan sampai dengan hadirnya Revolusi Industri masuk ke desa, desa menjadi maju teapi kehilangan jati dirinya. Harga itu akan menjadi sangat mahal di masa depan, karena selama ratusan tahun desa sudah mengajarkan pada Indonesia, bahwa kearifan lokal, semangat persatuan dan gotong royong, serta konsisten menjaga kelestarian alam adalah modal terbesar untuk bertahan dan berkelanjutan.

Demikian ringkasan materi yang disampaikan di "Konferensi Pembangunan Jawa Barat 4.0" memperingati Dies Natalis Unpad ke 61.

Oleh Rudy Suryanto, Founder Bumdes.id