22 Maret 2017

Batas Desa, Kewenangan, dan Paradigma Baru Pemberdayaan

Mendiskusi kewenangan desa masih menjadi isu menarik terlebih ditingkat regulasi masih menyisakan beberapa permasalahan dan perbedaan cara pandang terhadap UU Desa, terutama Permendagri No 1 Tahun 2016 tentang Penataan Desa yang dipandang telah menafikan prakarsa desa dalam penataan desa, serta beberapa permasalahan di tingkat daerah, masih minimnya daerah melakukan penataan kewenangan desa melalui peraturan kepala daerah. Persoalan tersebut semoga menjadi sebuah dinamika yang menjadi pembelajaran untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan dalam implementasi UU Desa.
Penyusunan Peta Partisipatif/Foto: Pendampingdesa.or.id 
Hal menarik terkait kewenangan desa adalah terkait batas wilayah, sebagai dasar menata-kelola ruangan penguasaan dalam menjalankan serta menegakan kewenangan desa, yang berimplikasi kepada model pembangunan dan pemberdayaan di Desa.

Desa menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 di definisikan yaitu Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, jelas bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud penyelenggaraan urusan pemerintahan adalah “untuk mengatur”, untuk mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.

Dari defini Desa tersebut saya hanya ingin menggaris bawahi tentang batas wilayah dan kewenangan desa, kewenangan tanpa adanya batas wilayah adalah absurd. Adanya kepastian dan penegasan batas wilayah dan kewenangan desa menjadi faktor penentu dalam proses pembangunan dan pemberdayaan di Desa. Tentang kewenangan saya tidak mengupas lebih dalam karena Amanat UU Desa sudah jelas, tinggal bagaimana melanjutkan pada tingkat regulasi dan implementasi disetiap level.

Batas wilayah adalah persoalan yang sangat pelik sampai saat ini, bukan saja di dalam satu desa dan antar desa, tetapi dengan wilayah kawasan hutan, perkebunan, pertambangan, dll baik dikuasai oleh Negara maupun Swasta/Private. Persoalan yang muncul ditingkat masyarakat maupun kasasi sangat begitu komplek, dan senantiasa melahirkan permaslahan-permasalahan baru hingga saat ini belum mampu diselesaikan, dan hal tersebut menjadi konsern aktivis KPA dan jejaringnya untuk melakukan mediasi dan advokasi terhadap berbagai permaslahan yang seringkali muncul tidak saja oleh masyarakat, tetapi pelanggaran oleh aparat negara, hingga menimbulkan konflik horizontal dan vertikal, persoalan keamanan masyarakat, pelanggaran HAM, dll. Sehingga persoalan agraria bukan sekedar rebutan lahan, tetapi sejatinya adalah persoalan politik dan kedaulatan rakyat, bahkan kedaulatan Negara.

Desa selama ini mengenal batas wilayahnya sebagai batas administratif dari suatu wilayah daratan dan perairan yang ada di wilayah Desa dan Kecamatan, yang dikelola oleh Pemerintah Daerah di dalam batas wilayahnya masing-masing berdasar kewenangannya. Penetapan dan penegasan batas desa merupakan cilkal bakal bagi penetapan dan penegasan batas wilayah yang diperlukan untuk proses pengambilan keputusan pembangunan dan kebijakan-kebijakan lainnya.

Penegasan batas wilayah dilakukan dengan cara pemetaan yang dituangkan dalam bentuk peta desa adalah sebagai implementasi Undang Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Penegasan dan Penetapan Batas Desa menjadi strategis baik untuk kepentingan Desa, Pemerintah Daerah dan Pusat. Bagi Desa batas wilayah desa menjadi sangat penting dalam menerapkan pembangunan desa berbasis asset desa, batas wilayah desa menentukan seberapa penguasaan dan kepemilikan asset sebagai modal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Batas wilayah desa hanya bisa dilakukan dengan pemetaan dengan berbagai metode dengan melibatkan masyarakat, sehingga melahirkan peta partisipatif yang selanjutnya bisa dijadikan peta definitif oleh pemerintah daerah, dengan mengakui peta partisipatif sebagai peta indikatif, peta dasar untuk selanjutnya disempurnakan sesuai dengan kaidah pemetaan oleh pemerintah pusat dan daerah yang berperan sebagai walidata dalam pengelolaan peta dan data.

Seiring dengan Kebijakan Satu Peta yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Sudah seharusnya seluruh pemangku kepentingan pembangunan khususmya Desa, dapat memahami kebijakan ini sebagai momentum bagi desa untuk melakukan pemetaan partisipatif karena kebijakan ini memberikan peluang adanya pengakuan (rekognisi) dan adopsi data spasial partisipatif, yang bermanfaat bagi pemerintah dalam membantu menyelesaikan berbagai persoalan konflik atas lahan dan ruang dalam wilayah Desa maupun kawasan perdesaan, sehingga sesuai amanat UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada pasal 81 ayat 2 menegakan bahwa Pembangunan Kawasan Perdesaan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Selanjutnya pada pasal 84 ayat 1, Pembangunan kawasan perdesaan oleh Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak ketiga yang terkait pemanfaatan asset desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintahan Desa. Dalam hal penetapan batas desa pada pasal 8 ayat 3 poin f, disebutkan bahwa batas wilayah desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa, ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota. Inilah hal regulasi strategis yang semakin membuka ruang bagi desa untuk mengambil bagian dan memiliki prakarsa dalam proses mengaktualisasikan Desa dalam kancah pembangunan daerah maupun Nasional.

UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Ketentuan Umum Pasal 1 mendefinisikan 2 konsepsi, yaitu: Pembangunan Desa dan Pemberdayaan desa. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 8) dan Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. (pasal 1 angka 12).

Menurut Bito Wikantosa, Subdit Perencanaan dan Pembangunan Partisipatif Kementerian Desa, PDTT, pada Seminar Nasional Kebijakan Satu Peta yang diselenggarakan JKPP di Bogor menegaskan bahwa dalam kontek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, batas desa ataupun peta desa yang dilakukan secara partisipatif dapat membangun kesadaran kolektif di Desa, sekaligus mendorong perubahan kerangka pemberdayaan masyarakat desa serta membangun paradigma baru pembangunan desa yang selama ini cenderung bersifat “belanja anggaran” yang sekedar mengakomodir keinginan kelompok bahkan elite desa dalam memanfaatkan anggaran desa, tetapi melalui Kebijakan Satu Peta dengan pengakuan pemetaan partisipatif di Desa dapat mengarahkan penggunaan anggaran desa untuk mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki sebagai asset desa untuk membangun kesejahteraan masyarakat desa.

Cara pandang saat ini bahwa dalam proses perencanaan pembangunan desa senantiasa menitikberatkan pada pendekatan masalah dalam merumuskan program dan kegiatan pada prioritas pembangunan desa, sehingga tidak heran cara pandang “belanja anggaran” menjadi paradigma yang dianut melekat selama ini. Hal tersebut dapat kita cermati dalam dokumen perencanaan desa baik RPJMDesa maupun RKPdesa yang belum menunjukan optimalisasi penggunaan potensi Desa, hal tersebut ditenggarai model fasilitasi dalam proses musyawarah pembangunan desa masih mengedepankan pembahasan yang bersifat usulan masalah, keluhan, keinginan kelompok mayarakat bahkan elite bukan lagi telaah terhadap kondisi realitas desa secara utuh untuk membangun kemakmuran desa.

Dana Desa sebagai bentuk Cash Transfer Negara seyogyanya dipandang sebagai instrumen yang mampu menjembatani masyarakat desa dalam mengoptimalkan pengelolaan atas asset yang dimiliki. Menurut Borni Kurniawan, dalam Buku Pengelolaan Asset Desa, setidaknya ada lima jenis asset desa yang saling komplementer dalam rangka membangun kesejahteraan masyarakat desa yaitu, 1. Sumber daya alam, 2. Sumber daya keuangan, (termasuk dana desa), 3. Modal Fisik berupa infrastruktur yang sudah ada, 4. Modal Sosial berupa nilai-nilaimkehidupan masyarakat (gotong royong,dll) dan 5. Sumber daya manusia, berupa kader-kader desa, pengusaha desa, dll.

Pemetaan di Desa mampu mengidentifikasi seluruh potensi asset sebagaimana disebut diatas, hanya bagaimana proses pemetaan ini dilakukan dalam ruang wilayah desa, dengan kepastian tata batas sebagai ruang kekuasaan desa dalam mengelola assetnya. Perlu adanya pengakuan atas kerja-kerja partisipastif yang dilakukan masyarakat dan perlunya sinkronisasi oleh pemerintah daerah dalam menentukan pelbagai tata batas desa, untuk memberikan kepastian hukum, serta koordinasi berbagai pihak sehingga tidak menimbulkan permasalahan pada saat proses pembangunan desa berlangsung. Pemetaan Desa partisipastif perlu political will pemerintah, sehingga baik pemerintah pusat dan daerah seyogyanya memberikan panduan sehingga pemetaan dilakukan dengan kaidah yang benar.

Peta partisipatif sesungguhnya pemosisian masyarakat desa dalam pembangunan nasional, batas desa di wilayah masyarakat adat lebih mudah karena batas teritorial secara geneolog masih hidup, sehingga untuk penataan desa adat lebih mudah karena salah satu syarat penataan desa adat adalah batas desa. Pada basis desa pada umumnya penanda batas tradisional sudah hilang, sehingga mengacu pada batas desa berdasarkan atas peta administrasi yang ditetapkan supra desa.

Peta desa partisipatif harus mampu mendorong deklarasi kewenangan desa dan batas desa, hal tersebut perlu mendapat dukungan berbagai pihak, sehingga adanya jaminan atas kedaulatan dalam mengelola dan memanfaatkan asset Desa. Kebijakan Satu Peta, Satu Perencanaan dan Satu Anggaran menjadikan perencanaan desa berbasis data tunggal untuk pembangunan desa berbasis asset serta memperkuat konsolidasi anggaran melalui dana transfer ke desa. Dengan demikian Peran Pendamping Desa dan Tenaga Ahli P3MD yang ditugaskan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, sudah saatnya bergerak tidak pada wilayah kerja-kerja teknokratik dan administratif yang bersifat keproyekan, tetapi memperkuat Desa melalui penguatan basis data tunggal sebagai basis perencanaan desa, serta mendorong “Deklarasi Batas Desa dan Kewenangan Desa” untuk menjamin kepastian asset Desa dalam pembangunan desa berkelanjutan.[]

Mendes PDTT Ajak Mahasiswa Jadi Pengusaha Berbasis Desa

Ayo Bangun Desa - Mempercepat pembangunan di desa-desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mengajak perguruan tinggi terlibat langsung dalam proses pembangunannya.
Mempercepat pembangunan di desa-desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mengajak perguruan tinggi terlibat langsung dalam proses pembangunannya.
Foto: Kemendesa PDTT
"Partisipasi dari Perguruan Tinggi sangat kita harapkan dalam proses pembangunan desa, saat ini kami di Kemendes PDTT punya wadah Forum Perguruan Tinggi untuk Desa (Pertides) dengan kajian-kajiannya bisa membantu proses pembangunan desa. 

Selain itu, kami ada 15.000 KKN Tematik di desa-desa tertinggal," ujar Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo, saat memberikan Kuliah Umum Penguatan Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Daerah dan Masyarakat Desa di Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama) di Jakarta, beberapa waktu yang lalu.

Di Indonesia terdapat 4,91 Juta mahasiswa di 4.314 Perguruan Tinggi. 79 Perguruan Tinggi di antaranya telah menandatangani MoU dengan Kemendes PDTT.

Dalam kesempatan itu, Menteri Eko menjelaskan kompleksitas permasalahan di desa beserta potensi unggulan yang ada di dalamnya yang perlu dikaji bersama dengan civitas akademika. Menurut dia, perlu ada bisnis model yang jelas untuk membangkitkan perekonomian di desa-desa. Eko Sandjojo memandang peran perguruan tinggi bisa masuk di dalamnya.

Ia menjelaskan, dari total 125 juta angkatan kerja di Indonesia, 58,4 juta berada di desa. Jika rata-rata pendapatan Rp 2 juta/bulan maka Rp 116,8 juta triliun uang beredar di desa. Artinya, setiap tahun akan terdapat Rp 1.402 triliun uang yang beredar di desa. Tingginya tingkat perputaran uang di desa akan meningkatkan aktivitas ekonomi di desa. Hal tersebut berdampak pada pertumbuhan ekonomi di desa dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional dengan pesat.

"Saya berharap kalian punya kemungkinan besar untuk menjadi pengusaha yang basic (basis,Red)-nya di desa-desa, salah satunya dengan pengembangan BUMDes," Ajaknya di hadapan ratusan mahasiswa pascasarjana Universitas Moestopo. 

Lebih jauh, Menteri menambahkan kementeriannya saat ini memiliki empat program prioritas untuk mempercepat pembangunan desa. Pertama, Produk Unggulan Desa (Prudes), kedua, pembuatan embung, ketiga, pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), keempat, sarana olahraga.

Keempat program tersebut, bisa menggunakan Dana Desa. Anggaran Dana Desa yang tiap tahun meningkat signifikan adalah salah satu bukti keseriusan pemerintahan Kabinet Kerja dengan Nawacita ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Di awal pelaksanaanya pada 2015, Dana Desa berperan untuk meredam pertumbuhan ekonomi maka basic-nya pembangunan infrastruktur. Pada tahun 2016 dan 2017 diperlebar lagi untuk pemberdayaan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

"Dengan adanya Dana Desa, punya impact pada pertumbuhan ekonomi di desa, pertumbuhannya mencapai 12%, dan pada 2016 penyerapan Dana Desa mencapai 96%" tambahnya.

Peran perguruan tinggi dalam pembangunan desa, daerah tertinggal dan transmigrasi dapat melalui pengembangan sumber daya alam, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan teknologi tepat guna dan pengembangan perekonomian desa. 

Pada kesempatan yang sama, Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri, Soni Sumarsono mengatakan harus ada konektivitas implementasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian yang berkontribusi pada pembangunan mental dan fisik.

"Perlu adanya koordinasi antara Perguruan Tinggi dengan badan pembangunan daerah dalam hal penelitian dan pendampingan," tutupnya.

Kemendesa PDTT

Indonesia Harus Memperbanyak Vareitas Pinang Unggul

Pinang (Areca catechu L.) termasuk dalam famili Arecaceae, tanaman yang sekeluarga dengan kelapa (Cocos nucifera). Pinang termasuk dalam salah satu jenis tumbuhan monokotil golongan palem-paleman.
Bibit Pinang Unggul Umur 6 Bulan
Menurut Agroforestry Database 4.0 (Orwa et all, 2009), pohon Pinang berasal dari China, Indonesia dan Malaysia. Tanaman ini telah menyebar ke Fiji, India, Jepang, Kenya, Madagaskar, Pakistan, Papua Nugini, Filipina, Samoa, Kepualauan Solomon (dan kepulauan pasifik barat lainnya), Sri Lanka, Tanzania, Amerika Serikat.

Sayangnya, Di Indonesia minat menciptakan bibit pinang vareitas unggul tidak semeriah dengan inovasi bibit lainnya. Padahal, Indonesia sangat cocok untuk perkembangan tanaman pinang.

Berdasarkan data Dirjen pertanian, sedikitnya ada 14 provinsi yang memiliki area cukup baik untuk tanaman pinang, seperti Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.

Pinang betara super adalah salah satu vareitas yang diunggulkan di Indonesia.

Berbeda dengan India, di negeri mereka terdapat sejumlah varietas pinang unggul yang dipasarkan seperti, varietas pinang Mangala, Sumangala, Saigon, Mohitnagar, Kahikuchi Tall dan VTLAH-1, dan Srimangala.

Mengingat prospek pasar pinang yang terus tumbuh dan minat petani yang semakin tinggi. Indonesia harus punya inovasi untuk menciptakan lebih banyak varietas pinang unggul. Semoga.[]

20 Maret 2017

Menteri Desa: Ada 600 Kasus Laporan Penyelewengan Dana Desa

Ayo Bangun Desa - Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo menyebutkan, sampai saat ini sudah ada 600 laporan yang masuk terkait penyelewengan dana desa.

Menurut Eko, dari 600 laporan yang masuk, 300 di antaranya sudah tindaklanjuti, sedangkan sebagian tidak lengkap dan dinilai hanya pelanggaran administratif saja.

"Kebanyakan para pengurus dana desa tidak tahu administrasinya. Dari 300 laporan itu, kita sudah laporkan ke polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sebagian sudah ditindaklanjuti dengan operasi tangkap tangan dan operasi sapu bersih pungli dan sebagainya," kata Eko di Kabupaten Alor, NTT, Senin (20/3/2017).

Eko menjelaskan, setiap ada penyelewengan dana desa, ia meminta segera dilaporkan ke pihaknya karena sudah ada satuan tugas dana desa, dan tentu dilaporkan melalui telepon secara gratis ke nomor 15040.

Baca: Tips untuk Aparat Desa yang Diperiksa

Dari laporan itu, lanjut Eko, pihaknya akan melakukan analisa dan langsung menindaklanjutinya dengan memberikan data itu kepada penegak hukum.

Jika yang melakukan pelanggaran di level penyelenggara negara, maka pihaknya akan melanjutkan ke KPK. Sedangkan jika pelanggarannya bukan penyelenggara negara, maka akan dilaporkan kepada polisi dan jaksa.

Eko mengaku, pengelolaan dana desa sebetulnya jauh lebih bagus dari dana-dana di kementerian lainnya.

Sebab, dana desa yang disalurkan dari APBN memiliki banyak komponen yang mengawasi, yakni langsung dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), penegak hukum, bahkan media massa.

Dana desa itu, lanjut Eko, jauh lebih efisien karena pembangunannya menggunakan dana desa dan dikerjakan oleh masyarakat secara swadaya.

Karena masyarakat merasa dana desa itu membantu lingkungan dan desanya sehingga mereka juga ikut menyumbang dalam bentuk tenaga dan material.

"Karena itu kita tetap pertahankan agar dana desa dikelola oleh masyarakat dan peran media tentu sangat penting sekali agar setiap ada penyelewengan segera dilaporkan ke kita," pungkasnya.[]

Kompas.com

Ayo Bangun BUMDes

Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) adalah badan usaha yang ada di desa yang di bentuk oleh pemerintahan desa bersama masyarakat desa melalui musyawarah desa
Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) adalah badan usaha yang ada di desa yang di bentuk oleh pemerintahan desa bersama masyarakat desa melalui musyawarah desa.

Musyawarah desa merupakah salah satu wadah dan proses yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam menentukan arah pembangunan desa secara bersama-sama. 

Sebagai badan usaha desa, Badan Usaha Milik Desa menjadi alat perjuangan dalam mendorong pengembangan perekonomian di desa. Secara spesifik, pendirian BUMDes untuk meningkatkan usaha ekonomi produktif berbasis desa, membuka lapangan kerja desa, mengoptimal aset, dan jaringan pasar desa.

Pemerintah pusat terus mendorong pembentukan BUMDes, dengan harapan agar kesejahteraan masyarakat desa meningkat dan kemiskinan di pedesaan terus menurun. 

Ruang desa mendirikan badan usaha berbasis desa sudah dibuka sebelum UU Desa lahir. Salah satu payung hukumnya yaitu Permendagri No.39 tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa. Namun, harapan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa belum terwujud sesuai harapan, hal ini terlihat dari jumlah angka kemiskinan yang meningkat di perdesaan. 

Dalam tiga tahun implementasi UU Desa. Banyak desa yang sukses mengelola BUMDes dengan aset ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Bahkan ada yang menjadi inspirasi bagi desa-desa lainnya untuk belajar cara mendirikan dan mengelola BUMDes.

Bagi desa yang belum mampu menjadikan BUMDes sebagai alat perjuangan desa dalam meningkatkan perekonomian masyarakat, harus ada usaha dan ikhtiar untuk menjadikan BUM Desa yang berdaya. Apalagi dana desa itu, sifatnya hanya stimulus saja. Ayo Bangun BUMDes...![]

Antara Sarapan Dana Desa dan Minimnya Pendamping

Ayo Bangun Desa - Pemprov Kalimantan Timur menghendaki serapan dana desa 2017 mencapai 100 persen, namun di sisi lain jumlah pendamping desa baik yang ditempatkan di tingkat kabupaten, kecamatan, hingga lokal desa terlalu minim.
Tugas pendampingan adalah menyukseskan penggunaan dana desa dari APBN agar tepat sasaran, sehingga keberadaannya menjadi penting karena selain mengawal proses perencanaan juga akan mengawal proses di lapangan hingga pada laporan pertanggungjawaban.

Berdasarkan hasil perpanjangan kontrak Pendamping Desa pada Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) untuk Provinsi Kaltim, baru terdapat 163 pendamping, padahal idealnya harus ada 521 pendamping mulai tingkat kabupaten hingga lokal desa.

Tugas pendampingan adalah menyukseskan penggunaan dana desa dari APBN agar tepat sasaran, sehingga keberadaannya menjadi penting karena selain mengawal proses perencanaan juga akan mengawal proses di lapangan hingga pada laporan pertanggungjawaban.

Kebutuhan Pendamping P3MD 2017 untuk Kaltim yang sebanyak 521 orang itu terdiri dari 49 Tenaga Ahli (TA) untuk ditempatkan di tingkat kabupaten.

Masing-masing kabupaten idealnya terdapat tujuh TA, sehingga dari tujuh kabupaten yang ada di Kaltim, maka akan diperoleh sebanyak 49 TA.

Kemudian di Kaltim terdapat 84 kecamatan. Masing-masing kecamatan setidaknya memiliki tiga Pendamping Desa (PD) sehingga paling tidak dibutuhkan 252 PD untuk tingkat kecamatan.

Selanjutnya ada 841 desa di kaltim. Dalam aturan yang ada, satu Pendamping Lokal Desa (PLD) melakukan pendampingan pada 3 sampai 4 desa (tergantung jarak dan kondisi), sehingga minimal seharusnya dibutuhkan sebanyak 220 PLD.

Sementara kondisi sekarang, sesuai hasil penandatanganan kontrak Pendamping P3MD yang dilakukan Kamis (9/3), Provinsi Kaltim baru terdapat 163 pendamping yang terdiri 21 TA, 55 PD, dan 87 PLD.

"Jelas ada korelasinya antara serapan dana desa dan jumlah pendamping yang ada. Apalagi dana desa 2017 sudah naik menjadi Rp692,42 miliar, tentu selain jumlah pendamping harus ideal, pendampingnya juga harus profesional," ujar Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Provinsi Kaltim Moh Jauhar Efendi.

Untuk itu, pihaknya segera mengirim surat kepada Kemdes PDTT guna meminta dilakukan perekrutan Pendamping P3MD yang baru di Kaltim, mengingat pendampingan merupakan hal yang penting untuk mengawal pemanfaatan dana desa.

Ia tidak ingin serapan dana desa 2016 lalu yang kurang maksimal kembali terulang di tahun ini. Salah satunya akibat kurangnya pendampingan, sehingga tahun ini perlu dimaksimalkan pendampingannya.

Bagi pendamping yang sudah bertugas, ia minta tiga hal, yakni meningkatkan kapasitas diri terkait regulasi, melakukan koordinasi dengan aparatur mulai tingkat desa hingga kabupaten, dan intensif melakukan komuniksi kepada masyarakat hingga aparaturnya guna mempermudah pendampingan.

Bermanfaat Besar


Meski serapan dana desa 2016 kurang maksimal, namun Jauhar mengaku bahwa tahun lalu terdapat 2.597 unit sarana dan prasarana (sapras) yang berhasil dibangun oleh ratusan desa di Kaltim, sehingga ia menilai saparas tersebut manfaatnya sangat besar bagi masyarakat desa.

"Pemanfaatannya antara lain mencukupi kebutuhan air bersih, membangun akses jalan pertanian, tercukupinya sarana kesehatan, pendidikan, dan sejumlah manfaat lainnya," ujarnya.

Penggunaan dana desa merupakan kewenangan pemerintah desa bersama masyarakat, sehingga desa bebas menggunakan anggaran dari APBN tersebut untuk kegiatan apapun, sepanjang bertujuan menunjang pengembangan desa dan harus berdasarkan hasil musyawarah desa.

Memang lanjutnya, dalam aturan sudah ditetapkan penggunaan dana desa diprioritaskan dua hal, yakni pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat, namun dari masing-masing item itu memiliki sub yang penjabarannya sangat luas, sehingga pemanfaatannya menjadi fleksibel.

Secara umum, hasilnya kini sudah bisa dinikmati masyarakat baik berupa pembanguna jalan pertanian, jalan lingkungan, sarana air bersih, listrik, pembangunan gedung sekolah, maupun bangunan kesehatan.

Namun diakuinya serapan dana desa pada 2016 masih belum 100 persen karena berbagai sebab, sehingga ia meminta kepada pihak terkait di kabupaten, camat, aparatur desa, hingga para pendamping desa mampu mengoptimalkan DD 2017 agar bisa terserap 100 persen.

Pada 2016 dana desa untuk 836 desa di Provinsi Kaltim senilai Rp540,7 miliar, namun berdasarkan data yang ada, anggaran yang berhasil dimanfaatkan senilai Rp343,98 miliar untuk berbagai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Pemanfaatannya antara lain untuk pengadaan dua unit Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan jaringan kabelnya dengan nilai Rp281,34 juta, pembangunan 20 unit Pondok Bersalin Desa (Polindes) pada 20 desa dengan total senilai Rp2,342 miliar.

Kemudian untuk pembangunan sebanyak 62 unit Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) pada 62 desa dengan total senilai Rp8,416 miliar, 66 unit tempat pengolahan sampah senilai Rp376,38 juta, 57 unit gedung TK/PAUD senilai Rp10,44 miliar.

Bertambahnya sapras di desa-desa tersebut tentu berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Apalagi pendapatan desa bukan hanya dari DD, tetapi ada juga dari alokasi dana desa (ADK) kabupaten, sumbangan pihak ketiga, dan sumber lainnya sehingga semuanya bisa digunakan untuk meningkatkan potensi lokal desa.

Tidak Cairkan

Pada 2016 terdapat 18 desa di Kaltim tidak bisa mencairkan dana desa karena beberapa hal, di antaranya ada kepala desa yang takut menghadapi persoalan hukum, belum adanya laporan tahun sebelumnya, dan masalah lainnya.

Menurut Alwani, Kepala Konsultan Pendamping Wilayah (KPW) Provinsi Kaltim, sebanyak 18 desa di Kaltim yang tidak bisa menggunakan dana desa 2016 adalah 12 desa di Kabupaten Paser, dua desa di Berau, dua desa di Kutai Barat, dan dua desa di Kabupaten Kutai Timur.

Menurut Alwani, permasalahan umum sehingga desa tidak bisa menggunakan dana desa antara lain tidak maksimalnya wewenang pendamping dalam fungsi pengawasan dan penggunaan dana, kemudian tidak adanya pengawasan melekat dan audit dari kecamatan dan kabupaten terkait penggunaan dana desa.

Sedangkan permasalahan khusus antara lain di Paser karena ketidakmampuan kades membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran 2015. Di Kutai Barat ada kades yang menolak menandatangani laporan penggunaan dana desa.

Sementara Kabid Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan DPMPD Kaltim Musa Ibrahim menilai, untuk memaksimalkan penggunaan DD dan agar tepat sasaran, harus dilakukan pengawasan melekat oleh aparatur tingkat kecamatan, kabupaten, hingga DPRD setempat.

Untuk tingkat kecamatan, maka camat harus membuat tim khusus dalam bentuk surat keputusan (SK) yang tugasnya melakukan pengawasan, di tingkat kabupaten adalah intansi terkait, bahkan bupatinya, sedangkan dari sisi legislasi adalah pengawasan dari DPRD.

Pihak yang memiliki peran melakukan pengawasan penggunaan maupun serapan DD dari APBN bukan hanya masyarakat dan aparatur terkait, namun semua anggota DPRD juga memiliki peran yang sama agar pemanfaatanya tepat sasaran.

"Saat menerima kunjungan Komisi I DPRD Kabupaten Kutai Barat, ke DPMPD Kaltim, salah satu yang saya sampaikan adalah perlunya peran DPRD melakukan pengawasan dana desa," tutur Musa.

Terkait dengan pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang secara spesifik berkaitan dengan dana desa, maka pembangunan dari pinggiran (desa) merupakan hal prioritas.

Secara garis besar, ada dua hal pokok yang disampaikan saat menerima kunjungan DPRD Kutai Barat, yakni perlunya peran aktif DPRD dalam melakukan pengawasan atas serapan dana desa agar bisa mencapai 100 persen.

Hal ini sejalan dengan salah satu fungsi pengawasan yang melekat pada DPRD, sehingga semakin banyaknya pihak yang melakukan pengawasan, maka akan berdampak pula pada semakin minimnya kemungkinan adanya penyalahgunaan dana desa.

Penggunaan dana desa berdasarkan aturan yang berlaku, hanya boleh digunakan untuk dua kegiatan, yakni pembangunan desa dan untuk pemberdayaan masyarakat desa.

Namun penjabaran dua hal ini sangat luas sehingga penggunaannya juga fleksibel, sepanjang tidak lepas dari aturan dan ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah desa.

Selain kepada DPRD, Musa juga berharap Pemerintah Kabupaten Kutai Barat selaku pihak eksekutif, terus mendorong pembangunan desa/kampung menjadi desa yang maju, terlebih bisa mandiri.

Untuk dapat mengubah desa tertinggal menjadi maju dan yang maju menjadi mandiri, maka perlu menitik beratkan pola pembangunan desa dengan mengutamakan potensi lokal, termasuk pembangunan yang bertumpu pada kawasan perdesaan dengan memaksimalkan penggunaan dana desa.

Optimalisasi dana desa sangat penting mengingat kondisi keuangan Pemprov Kaltim dan Pemkab di Kaltim Kutai kini dalam kondisi defisit, sehingga DD bisa menjadi sumber dana pembangunan di desa yang strategis.

Selain itu, jumlah pendamping desa juga perlu ditambah untuk memaksimalkan serapan dana desa. Sedangkan bagi pendamping yang bertugas, tentu harus memberi manfaat bagi masyarakat dan aparatur setempat, yakni sebagai pembawa informasi plus pemecah masalah, bukan sebaliknya.(*)

Antaranews.com

19 Maret 2017

Menteri Eko Putro Sandjojo: Desa Fokus Utama Pembangunan

Ayo Bangun Desa - Desa menjadi prioritas pembangunan. Presiden Joko Widodo melalui kebijakan strategi nasional nawacita mengutamakan pembangunan dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Menteri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, BSEE., MBA dihadapan ratusan mahasiswa pascasarjana saat kuliah umum di Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama).
Menteri Desa PDTT,  Eko Putro Sandjojo
"Ini berarti desa sebagai fokus dan lokus utama pembangunan," ujar Menteri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, BSEE., MBA dihadapan ratusan mahasiswa pascasarjana saat kuliah umum di Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama).

Menteri Desa PDTT Eko Putro Sandjojo, BSEE., MBA hadir sebagai dosen tamu dalam kuliah umum yang bertema Penguatan Peran Perguruan Tinggi Dalam Pembangunan Daerah dan Masyarakat Desa.

"Desa dapat menjadi pengungkit ekonomi nasional," ia menambahkan. Dalam presentasinya, Menteri Eko Putro Sandjojo menyampaikan 58,4 juta dari 125 juta angkatan kerja di Indonesia berada di desa.

"Jika 58,4 juta angkatan kerja di desa memiliki penghasilan rata-rata Rp 2 Juta per bulan, maka akan ada Rp 116,8 Triliun uang yang beredar di desa," ujarnya.

"Artinya, setiap tahun akan terdapat Rp 1.402 Triliun uang yang beredar di desa," ia melanjutkan.

Mengakhiri kuliah umumnya, Menteri Eko Putro Sandjojo, mengajak mahasiswa dan pengusaha muda untuk membangun potensi desa.

"Jika aktivitas ekonomi desa meningkat maka akan berdampak positif pada peningkatan pertumbuhan ekonomi desa yang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional," ia memungkasi. 

Liputan6.com

18 Maret 2017

Ingin Jadi Sahabat Desa, Mendes Buka Ruang Diaspora Mengajar di Desa

Ayo Bangun Desa - Ketua Dewan Penasihat Diaspora Indonesia, Dino Patti Djalal bersama anggota diaspora lainnya berkunjung ke Kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) di Kalibata Jakarta, Jum’at (17/3). 
Ketua Dewan Penasihat Diaspora Indonesia, Dino Patti Djalal bersama anggota diaspora lainnya berkunjung ke Kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) di Kalibata Jakarta.
Mendes Eko bersama Dino Patti Djalal/Foto: Kemendes
Dalam kunjungan tersebut Diaspora menginisiasi adanya kerjasama untuk membangun desa. 

Mendes PDTT, Eko Sandjojo, mengapresiasi dan menyambut baik inisiasi tersebut. Menurutnya, desa membutuhkan sebuah model agar mampu mandiri secara ekonomi. Namun menjadi permasalahan saat 60 persen angkatan kerja di Indonesia hanya berpendidikan SD dan SMP. Model yang diterapkan pun harus sederhana dan mudah diaplikasikan.

“Kita memperjuangkan anak (desa) dikasih tanah dikasih apa, kalau tidak dikasih pekerjaan, tanah itu akan dijual juga,” ujarnya.

Mendes Eko menambahkan, setiap desa memiliki potensi dan keunikan masing-masing, meskipun 80 persen masyarakat desa masih hidup di sektor pertanian. Oleh karena itu dirinya berharap, Diaspora Indonesia dapat membantu desa dari segi e-commerce hingga pengembangan sektor pariwisata. 

Bahkan ia membuka ruang bagi Diaspora Indonesia untuk terjun langsung mengajar di desa. “Harapannya Diaspora bisa bantu e-commerce. Atau juga Diaspora bisa investasi di Pariwisata,” ujarnya.

Ketua Dewan Penasihat Diaspora Indonesia, Dino Patti Djalal, mengatakan, Diaspora Indonesia akan menggalang organisasi Diaspora, Ormas Diaspora, individu maupun perusahaan untuk bekerjasama membantu desa. “Mereka bisa jadi sahabat desa. Apa kerjasamanya, tentu kami terbuka,” ujar Dino.

Ia mencontohkan, bantuan yang diberikan bisa dalam bentuk komputer, solar cell (pembangkit listrik tenaga surya), buku, infrastruktur, bahkan beasiswa. Dalam hal ini pemuda pintar di desa akan diundang, untuk mendapatkan beasiswa di kampus-kampus wilayah Diaspora. Sebagai langkah awal, Dino meminta kementerian untuk menyediakan setidaknya 100 daftar desa tertinggal.

“Ini mengalir aja pak (Menteri Eko), apa yang dibutuhkan desa kita komunikasikan,” ujarnya.

Kemendesa PDTT