01 November 2016

Ikhtiar untuk BUM Desa yang Berdaya

Tags

Badan Usaha Milik Desa - Jauh sebelum UU Desa hadir, desa sudah dikenalkan jenis usaha yang bisa dilakukan sebagaimana penjelasan pasal 21 dalam UU No.5/1979. Kebijakan tersebut terus dipertegas melalui UU No 22 /1999 tentang Pemerintah daerah dan revisinya UU 32/2004, kebijakan tersebut sudah membuka ruang desa dapat mendirikan BUM Desa, yang diperkuat dengan turunnya Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang desa dan secara khusus BUM Desa dipayungi dan digerakkan oleh Permendagri No. 39/2010 tentang Badan Usaha Milik Desa. Terbitnya kebijakan-kebijakan tersebut didukung dengan berbagai program pemerintah yang dikeluarkan untuk menggerakkan ekonomi desa.



Harapan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa belum terwujud jika kita melihat jumlah penduduk miskin di perdesaan. Prosentase penduduk miskin di daerah perdesaan naik dari 13,76 persen pada September 2014 menjadi 14,21 persen pada Maret 2015[1]. Kondisi ini dapat menggambarkan bahwa sumber-sumber yang ada di desa belum terkelola dengan baik, sehingga tingkat urbanisasi penduduk menjadi daya tarik bagi penduduk desa. Data Price Waterhouse Cooper pada 2014 tingkat populasi urbanisasi Indonesia pada tahun 2014 sebesar 51,4 persen tertinggi kedua setelah Malaysia. Jakarta diperkirakan akan menampung pendatang pasca lebaran tahun 2016 sekitar 70 ribu orang.[2] Menjadi perhatian bagi pemerintah dan pemerintah daerah bagaimana berbuat dan bertindak agar BUM Desa sesuai harapan pembentukannya.

Pendahuluan

Konstruksi UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, desa merupakan ‘kesatuan masyarakat hukum’. Definisi ini telah menempatkan Desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government). UU Desa ini telah membedakan desa dengan Pemerintahan daerah yang tidak mengandung unsur masyarakat, melainkan hanya perangkat birokrasi. Desa juga tidak identik dengan Pemerintah Desa dan kepala Desa, namun meliputi pemerintahan lokal dan sekaligus mengandung masyarakat, yang keseluruhannya membentuk kesatuan hukum.

UU Desa mempertegas kehadiran BUM Desa sebagai institusi sosial dan komersial yang bertujuan untuk menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh Desa dan/atau kerja sama antar-Desa. Karenanya anggaran dalam APB Desa bisa dialokasikan untuk modal awal BUM Desa. Saat ini telah terbentuk 12.115 BUM Desa tentunya hal ini telah melampaui target 5.000 BUM Desa yang ditargetkan oleh Kemenenterian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) sampai 2019[3].

Sebagai basis pengembangan ekonomi di pedesaan, BUM Desa sudah lama didorong oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program yang digulirkan, dan sudah banyak desa yang mendirikan BUM Desa agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Banyak program pemerintah baik pusat maupun daerah yang digulirkan dalam upaya menggerakkan ekonomi desa. Namun belum banyak membuahkan hasil yang memuaskan sebagaimana diinginkan bersama, warga miskin desa dan urbanisasi setiap tahun masih terus dirasakan sebagaimana dijelaskan di atas. Perlu upaya yang kuat agar BUM Desa mampu menjawab tantangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai institusi sosial dan komersial, pendirian BUMDes tidak cukup didekati dengan pendekatan teknokratis dan manajerial semata. BUMDes yang dibangun serentak oleh pemerintah dari atas juga tidak serta merta bisa bekerja dengan baik meskipun memiliki kapasitas manajerial yang baik. Namun BUMDes tidak cukup didekati dengan pendekatan teknokratis dan manajerial semata. BUMDes yang dibangun serentak oleh pemerintah dari atas juga tidak serta merta bisa bekerja dengan baik meskipun memiliki kapasitas manajerial yang baik[4]. Menjadi evaluasi bersama agar BUM Desa benar-benar menjadi pilar ekonomi desa yang tangguh dan kuat serta memberikan manfaat bagi masyarakat.

Ada beberapa hal yang menarik dalam studi yang dilakukan PATTIRO pada 4 BUM Desa (BUM Desa sudah mendapatkan penghargaan) di 3 kabupaten Kebumen, Siak dan Bantul terlihat bahwa BUM Desa masih diperlukan upaya kuat dan keseriusan supra desa dalam melakukan pembinaan dan memperkuat bentuk dari BUM Desa sebagai institusi social dan komersial.

Catatan Lapangan 

Inisiatif pembentukan BUM Desa, di empat desa wilayah penelitian ini memiliki sumber inspirasi yang berbeda-beda. Pembentukan BUM Desa tersebut juga terjadi sebelum pemberlakuan UU Desa, namun menjabarkan semangat PP. No. 72 tahun 2005, Permendagri 39/2010 tentang BUM Desa di bawah payung UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam studi ditemukan sumber inisiatif pendirian BUM Desa muncul dari pemerintah desa dan masyarakat desa, pemerintah supra desa dan dari pihak luar (perguruan tinggi). Inisiatif ini hadir karena latarbelakang yang mempengaruhinya, yaitu adanya potensi desa , kondisi/permasalahan yang terjadi di desa yang perlu pecahkan dan karena program supra desa.

Pendirian karena potensi ditemukan di desa Petanahan Kebumen, Identifikasi terhadap potensi ini dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang sedang melakukan kegiatan pemberdayaan lingkungan, yang kemudian berkembang inisiatif mendirikan koperasi dan sampai pada usulan masyarakat untuk membentuk BUM Desa untuk melakukan pengolahan kelapa terpadu. Kedua, pendirian dilakukan karena adanya kondisi/permasalahan, sebagaimana terjadi di Pangguharjo dan Tirtonirmolo kabupaten Bantul. Di Panggungharjo pendirian karena situasi desa yang banyak menghasilkan sampah, pada tahun 2013 gagasan datang dari kepala desa untuk mendorong BUM Desa dengan jenis usaha pengelolaan sampah. Sementara di Tirtonirmolo dilatarbelakangi karena untuk “memerangi” lintah darat dari pengusaha kecil yang membutuhkan modal usaha. Pemerintah desa dan masyarakat memanfaatkan dana insentif dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa yang diberikan kepada Pemerintah Desa untuk dikembangkan menjadi usaha desa. Ketiga, pendirian dilakukan karena adanya program supra desa (provinsi) yang mendorong usaha ekonomi desa, seperti terjadi di desa Tualang di provinsi Riau yang mendapatkan dana hibah untuk mendirikan Usaha Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP).

Seperti disampaikan diatas bahwa pembentukan BUM Desa di ke-4 desa tidak langsung terbentuk, maka proses perubahan menjadi BUM Desa juga beragam. Ada yang membutuhkan ujicoba pengelolaan usaha stabil terlebih dahulu kemudian baru dibahas dalam musdes pembentukan BUM Desa (Panggung Harjo), perubahan dari koperasi menuju BUM Desa (Petanahan), Perubahan dari USP menjadi BUM Desa karena intruksi dari Pemerintah Kabupaten (Tualang), dan masih terkendalanya aturan perubahan USP menjadi BUM Desa (Tirtonirmolo).

Jenis Usaha Yang Di Kelola BUM Desa, memiliki jenis usaha yang berbeda yaitu: pelayanan pengelolaan sampah, pengolahan kelapa, dan usaha simpan pinjam. Pilihan jenis usaha ini juga menunjukkan gradasi orientasi usaha yang berbeda terhadap profit atau benefit.   Dari jenis usaha yang ditemui lebih didominasi oleh usaha simpan pinjam. Regulasi lama lebih banyak memandu BUM Desa berorientasi pada keuntungan bisnis, meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa.

Pemilihan jenis usaha dan ragam pengelolaanya akan menentukan karakter BUM Desa dilihat dari jumlah keterlibatan warga masyarakat dalam usahanya. Point ini penting dibicarakan atau dimusyawarahkan oleh pemerintahan dan masyarakat desa mengingat tujuan pendirian BUM Desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka sebaiknya lebih banyak melibatkan dan memberikan manfaat bagi warga masyarakat karena modal yang digunakan juga berasal dari uang masyarakat. Pemahaman terhadap BUMDESA yang harus menghasilkan profit akan mengarahkan pada pilihan jenis usaha yang dapat menghasilkan keuntungan. Hal ini akan menjadi trade off bagi keterlibatan dan partisipasi warga dalam pengelolaan dan manfaat dari usaha yang dipilih.

Desa dan pengelola BUM Desa masih kebingungan atas status BUM Desa antara sebagai unit bisnis dan kewajiban mensejahterakan masyarakat. Dipanggungharjo, jenis usaha pengelolaan sampah lebih mengedepankan pelayanan (benefit) daripada profit. Kondisi ini menyebabkan “keharusan subsidi” dari pemerintah desa kepada pengelolaan sampah. Sedangkan untuk menaikkan tarif harus meminta persetujuan dari seluruh masyarakat pengguna layanan.   Karakter usaha ini berbeda dengan unit simpan pinjam yang dalam menjalankan usanya hanya melayani sebagian masyarakat, tidak seluruh warga. Demikian pula BUM Desa dengan jenis usaha unit simpan pinjam yang hanya melayani khusus untuk penambahan modal usaha dan mengembangkan usaha saja, maupun jenis pengelolaan potensi lokal yang hanya sebagian kecil warga terlayani.

Jika lebih dalam ditarik pada perbedaan antara BUM Desa sebelum dan sesudah UU Desa, maka UU Desa mengkonsepkan desa “hibrid” sebagai pemerintahan lokal sekaligus komunitas mandiri. Sebagai komunitas mandiri maka masyaraat berhak mendapatkan akses dan manfaat dari BUM Desa yang didirikan. Hal ini cukup berbeda jika desa hanya diposisikan sebagai pemerintahan lokal, maka pilihan usaha BUMDES layaknya BUMD (tingkat kabupaten/kota) yang orientasinya adalah profit untuk menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Managemen pengelolaan yang belum profesional, Studi menemukan belum semua BUM Desa dalam pengelolaannya mengacu pada regulasi yang ada baik sebelum maupun sesudah UU Desa, kendati sudah sesuai dengan struktur yang ada dalam Permendesa dan UU Desa, dimana kepala desa menjadi pembina dan BPD pengawas, namun peran pengawasan yang dilakukan tidak maksimal dan kepala desa tidak memperhatikan perkembangan BUM Desa atau sebaliknya peran pembinaan yang dilakukan lebih mendominasi sampai pada keterlibatan dalam membuat kebijakan teknis.

Studi juga menemukan perubahan yang dilakukan (koperasi menjadi BUM Desa) tahun 2012 tidak serta merta merubah struktur kepengurusan lama dan tidak diikuti dengan perumusan AD/ART dan baru, dan masih ditemui belum terpisahnya organisasi pemerintah dengan BUM Desa, masih ada rangkap jabatan dalam struktur pelaksana operasional. Selain itu, Pengelolaan dan Pengembangan BUM Desa masih sangat tergantung pada arahan keputusan kepala desa, misalnya terkait antisipasi kredit macet dalam proses pencairan dana pinjaman, pemanfaatan sisa hasil usaha untuk pengembangan.

Struktur manajemen pengelolaan BUM Desa belum seluruhnya menganut struktur pengelolaan yang dimandatkan dalam Permendesa No.4/2014, kendati unsur pengawas BUM Desa tidak di jelaskan dalam aturan tersebut namun dalam PP 43/2014 menjadi peran dari penasihat (ex-officio) kepala desa, nampaknya perlu ada kesamaan pandangan dalam menentukan unsur pengawas BUM Desa. Disisi lain pengaturan pengawasan dalam kedua regulasi tersebut tidak secara jelas mengatur tentang waktu pelaksanaan pengawasan terhadap kinerja BUM Desa. Dalam Permendesa sebatas mengatur tentang penyelenggaraan Rapat Umum Pengawas untuk melakukan pemilihan dan pengangkatan struktur pengawas, penetapan kebijakan pengembangan usaha dan pelaksanaan pemanatau dan evaluasi.

Menurut Sondang P. Siagian pengawasan merupakan proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Artinya peran pengawas harus terlibat dalam proses perencanaan tidak hanya sebatas pelaksanaannya saja. Menurut Rimawan pengawasan di perlukan karena adanya potensi moral hazard (penyelewengan/penyalahgunaan) oleh para pelaku ekonomi yang tentunya berdampak negatif terhadap perekonomian. Teori ekonomi menunjukkan bahwa moral hazard disebabkan oleh adanya asymmetric information. Assymetric information menyebabkan dua hal, yaitu moral hazard dan adverse selection (kesalahan memilih). Assymetric information adalah kondisi dimana informasi tidak tersebar merata antar pelaku ekonomi[5].

Dari manajemen yang beragam berdampak pada pola pertanggungjawaban yang berbeda dari masing-masing BUM Desa. laporan BUM Desa dibuat oleh pemerintah desa dan disampaikan kepada BPD dan ada sama sekali tidak membuat laporan, serta penyusunan laporan dibuat oleh pengelola setiap bulan lalu disampaikan ke kepala desa dan ditembuskan ke kecamatan dan kabupaten/ Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, atau dengan kata lain bagi unit usaha yang diawal berbentuk UED, maka mekanisme pelaporan masih mengacu pada mekanisme lama (walaupun sudah menjadi BUM Desa).

Intervensi bukan fasilitasi dari supra desa, pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah supra desa (kabupaten/provinsi) belum dilakukan secara serius, pola yang dilakukan masih berdasarkan pendekatan intervensi program semata, belum mengarah pada fasilitasi atau pendampingan secara berkala yang dilakukan oleh supra desa, dan tidak terfokus pada unit kerja yang menanganinya. Studi ini belum melihat pembinaan yang intens dilakukan oleh supra desa dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan usaha yang dilakukan oleh BUM Desa. Pembinaan yang dilakukan oleh supra desa, belum fokus dilakukan dalam mengembangkan usaha yang dilakukan BUM Desa. Salah satunya BUM Desa tidak dapat melanjutkan kerjasama karena tidak dapat memenuhi MOU dalam pemenuhan hasil produksi, sehingga kerjasama diputuskan oleh mitra kerjanya.

Harapan Perbaikan

Sebagai penggerak ekonomi desa, BUM Desa diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pendirian BUM Desa tidaklah sebatas memenuhi target pembangunan saja namun kehadirannya dibarengi dengan peningkatan kualitas dalam pengelolaan usaha dan yang terpenting kehadiran UU Desa dapat memaksimalkan dan mengembangkan potensi desa melalui BUM Desa sebagai basis gerakan ekonomi desa. Untuk mendapatkan hal tersebut tentunya pemerintah harus berbenah dan melakukan evaluasi atas apa yang sudah dilakukan selama ini terhadap pengembangan ekonomi desa. Dari paper ini dapat direkomendasikan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yaitu:

Kepastian aturan BUM Desa sebagai institusi sosial dan komersial, sebagai lembaga usaha yang juga diharapkan untuk mendapatkan profit selain orientasi benefit bagi masyarakat desa. Dua tuntutan tersebut yang membuat BUM Desa berbeda, yang justru keberadaanya mempunyai nilai strategis sebagaimana tujuan pendiriannya. Keberadaan BUM Desa harus menyesuaikan dengan regulasi yang mengatur tentang badan usaha. Kejelasan dalam aturan, akan memperjelas praktek manajemen dan jenis usaha yang akan dilakukan.

Kepastian badan hukum BUM Desa akan memperkuat manajemen pengelolaan serta memperjelas tanggungjawab yang dibebankan kepada pengelolan operasional BUM Desa. Hal ini akan mengarah pada profesionalisme dan kemandirian BUM Desa sebagai unit usaha desa. Kemandirian dan tanggungjawab inilah yang dibutuhkan oleh pengelola dalam mengelola BUM Desa sesuai harapan.

Sinkronisasi aturan pengelolaan BUM Desa. sebagai basis perekonomian desa, manajemen profesional BUM Desa dituntut untuk selaras dengan badan usaha, dan pengelolaannya harus sejalan dengan pengelolaan badan usaha lainnya. Sebagaimana diketahui pengaturan BUM Desa dalam PP 34/2014 maupun Permendesa 4/2015 pengaturan struktur pengelolaan masih terdapat legal hazard (peluang risiko) dalam mengembangkan usahanya maupun bertendensi sebagai alat kepentingan politik. Teori ekonomi menunjukkan bahwa  moral hazard disebabkan oleh adanya asymmetric information. Assymetric information menyebabkan dua hal, yaitu moral hazard dan adverse selection (kesalahan memilih). Assymetric information adalah kondisi dimana informasi tidak tersebar merata antar pelaku ekonomi[6].

Aturan mengenai organ pengelola BUM Desa harus lebih mempertegas peran dan tanggungjawab yang diberikan kepada penasihat (ex-officio), pelaksana operasional dan pengawas, dimana peran dari masing-masing organ pengelola tersebut harus lebih jelas hal tersebut terkait profesionalisme BUM Desa dalam menjalankan usaha desa.

Mempertegas peran pembinaan Supra Desa, memberikan rekognisi dan mendorong kemandirian desa tidak serta merta menghilangkan peran dan tanggungjawab supra desa dalam memberikan pembinaan. Dalam upaya memberikan itu, pendekatan supra desa seyogyanya dilakukan tidak lagi berdasarkan pendekatan intervensi namun lebih pada pendekatan fasilitasi dan pendampingan.

Pendekatan fasilitasi jauh lebih dibutuhkan desa dalam kerangka menuju kemandirian agar mampu mengelola potensi dan sumberdaya yang dimiliki oleh desa. Keberadaan pendamping desa sudah seyogyanya menjadi alat yang bisa digunakan oleh supra desa dalam melakukan pembinaan yang intensif sehingga menumbuhkan BUM Desa yang tangguh.

Memperkuat eksistensi BUM Desa yang hadir atas inisiatif sendiri, Pemerintah alih-alih memiliki target dalam membentuk BUM Desa secara massif, lupa dengan menjaga kualitas BUM Desa yang sudah eksis atas inisiatif sendiri (internal masyarakat). Memberikan rekognisi terhadap usaha desa (apapun bentuknya) yang sudah eksis-kokoh jauh lebih penting ketimbang melakukan intervensi dengan berbagai instrumen hukum. Bagaimanapun membangkitkan dan memfasilitasi tumbuhnya gerakan ekonomi lokal secara emansipatoris jauh lebih penting ketimbang institusionalisasi BUMDes secara serentak dari atas (Sutoro, 2013).

[1] http://bps.go.id/brs/view/1158/ diakses pada tanggal 21 Juli 2016.
[2] https://m.tempo.co/read/news/2016/07/12/090787118/pendatang-baru-di-jakarta-diprediksi-capai-70-ribu-orang diakses tanggal 21 Juli 2016.
[3] http://kemendesa.go.id/view/detil/1663/bumdes-akan-topang-lumbung-ekonomi-desa, diakses pada tanggal 19 Juli 2016.
[4] Sutoro Eko bersama Tim FPPD, 2013 Poliy Paper “ Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan berkelanjutan.
[5] Hermansyah, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Kedua”. Kencana. Jakarta. 2011. hlm. 214.
[6] Hermansyah, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Kedua”. Kencana. Jakarta. 2011. hlm. 214.

Sumber: kedesa.id

Artikel Berdesa Lainnya

Terima kasih atas komentar Anda. Sampaikan pendapat, ide dan gagasan Anda dengan baik dan sopan. Setiap komentar yang berisikan Porno, SARA dan Judi akan di SPAM!

Terima Kasih atas Perhatiannya.
EmoticonEmoticon